Reboan “Dari Gerakan Sosial Menuju Pengakuan Hukum: Membaca Politik Hukum dan Perjuangan Masyarakat Adat Sibiruang”

Oleh: Yunitasari / Pegiat Rumah Baca Komunitas
Rumah Baca Komunitas. Rabu malam (15/10), suasana Rumah Baca Komunitas (RBK) kembali dipenuhi perbincangan hangat dan reflektif. Tepat pukul 19.30 WIB, kegiatan rutin Reboan Diskusi Buku kembali digelar dengan menghadirkan sebuah karya penting berjudul “Dari Gerakan Sosial Menuju Pengakuan Hukum: Politik Hukum Hak Atas Tanah Masyarakat Adat Sibiruang Perspektif Lokal hingga Internasional” karya Mhd Zakiul Fikri.
Buku ini menjadi jendela untuk melihat perjuangan panjang masyarakat adat Sibiruang, Kabupaten Kampar, Riau, dalam mempertahankan hak atas tanah ulayat mereka. Isinya bukan hanya membahas aspek hukum, tetapi juga menyentuh sisi kemanusiaan dan sosial yang sering luput dari perhatian publik.
Mhd Zakiul Fikri hadir sebagai penulis sekaligus pembedah utama, membagikan pengalaman dan refleksi pribadi yang melatarbelakangi penulisan buku tersebut. Turut mendampingi dua narasumber lain, yakni David Efendi Dosen FISIPOL UMY sekaligus Sekretaris LHKP Muhammadiyah dan Muh. Abdillah Akbar, mahasiswa antropologi serta pegiat RBK. Diskusi dipandu oleh Risky, mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan UMY, yang menjaga jalannya diskusi tetap mengalir dalam suasana santai namun berisi.
Fikri membuka pembahasan dengan menuturkan bahwa buku ini lahir dari pengalaman langsung di tengah masyarakat Sibiruang. Ia menyaksikan sendiri bagaimana tanah yang dulu menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi sumber konflik dan ketegangan sosial. Bagi masyarakat adat, tanah bukan hanya ruang ekonomi, melainkan simbol eksistensi, sejarah, dan nilai kebersamaan yang diwariskan turun-temurun.
Dalam diskusi terungkap pula bahwa berbagai kebijakan agraria, baik nasional maupun internasional, kerap disusun berdasarkan logika pembangunan yang kering dari nilai kemanusiaan. Hukum sering kali hadir tanpa empati, menyingkirkan spiritualitas dan kearifan lokal yang selama ini menjaga keseimbangan masyarakat adat dengan lingkungannya.
Dari sudut pandang politik hukum, David Efendi menilai buku ini sebagai potret tajam tentang bagaimana kekuasaan dan modal sering kali bersekutu dalam mengatur ruang hidup rakyat. Menurutnya, apa yang dialami masyarakat adat Sibiruang hanyalah satu dari banyak kisah serupa di berbagai wilayah Indonesia tentang rakyat yang terus bertahan di tengah arus pembangunan yang mengabaikan keadilan sosial.
Sementara itu, Muh. Abdillah Akbar menawarkan pandangan antropologis bahwa tanah bagi masyarakat adat bukan sekadar sumber daya, melainkan ruang spiritual yang menyatukan nilai, budaya, dan solidaritas sosial. Ia menegaskan bahwa ketika hukum negara gagal memahami makna tersebut, maka hukum kehilangan jiwa kemanusiaannya.
Diskusi malam itu berlangsung hangat dan penuh keterlibatan. Peserta dari berbagai latar belakang turut memberi pandangan, menautkan perjuangan masyarakat Sibiruang dengan gerakan masyarakat adat lain seperti di Wadas, Kalimantan, hingga Papua. Semua sepakat bahwa perjuangan masyarakat adat bukan hanya untuk mempertahankan tanah, tetapi juga memperjuangkan martabat manusia dari sistem yang menyingkirkan dan melupakan mereka.
Menjelang malam semakin larut, diskusi berakhir dalam suasana reflektif. Ada kesadaran yang tumbuh bahwa membaca bukan sekadar kegiatan akademik, melainkan juga tindakan keberpihakan terhadap kemanusiaan. Buku “Dari Gerakan Sosial Menuju Pengakuan Hukum” hadir bukan semata sebagai karya ilmiah, tetapi juga sebagai kesaksian perjuangan masyarakat adat mempertahankan ruang hidup dan identitasnya.
Di ruang sederhana RBK malam itu, percakapan tentang tanah berubah menjadi percakapan tentang manusia tentang keberanian mempertahankan hak, sejarah, dan martabat. Sebuah pengingat bahwa perjuangan atas tanah sejatinya adalah perjuangan untuk menjaga kemanusiaan itu sendiri.