Muhammadiyah dan Al-Maun Hijau

Krisis lingkungan hidup bukan sekadar bencana ekologis, melainkan juga krisis spiritual dan moral. Di balik kerusakan alam yang kian meluas, tersimpan watak manusia yang rakus dan tidak bersyukur. Keserakahan telah menjadi modus dominan eksploitasi sumber daya alam, dengan mengatasnamakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Maka pertanyaannya, adakah peran agama dalam menahan laju kerakusan ini? Muhammadiyah menjawabnya dengan pendekatan Green Al-Maun, sebuah interpretasi teologis yang progresif atas surah Al-Maun sebagai fondasi etika sosial dan ekologi.
Di tengah krisis iklim global, ketimpangan ekonomi, dan kerusakan alam yang merajalela, muncul kebutuhan mendesak untuk membangun teologi pembebasan ekologis—sebuah cara memahami agama sebagai kekuatan transformatif bagi keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis. Dalam konteks Islam, Surah Al-Ma’un bukan hanya teks spiritual, tetapi merupakan naskah ideologis untuk membentuk gerakan perubahan sosial yang berpihak pada kaum tertindas dan bumi yang dilukai.
Surah Al-Ma’un mengecam keras orang yang menyembah Tuhan secara ritual tetapi mengabaikan hak sosial orang miskin dan yatim. Ini bukan sekadar teguran moral, melainkan kritik politis terhadap agama yang kosong dari pembelaan terhadap yang lemah. Spirit Al-Ma’un adalah teologi perlawanan, yang menolak kemunafikan agama yang tidak membela keadilan. KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, menjadikan Al-Ma’un sebagai dasar gerakan Islam modern yang membela kaum dhuafa. Teologi ini mendorong umat Islam untuk terlibat aktif dalam pemberdayaan sosial, pendidikan, kesehatan, dan keadilan ekonomi—dan hari ini, semangat itu perlu diperluas ke dalam perjuangan ekologis.
Al-Maun Hijau adalah aktualisasi Surah Al-Ma’un dalam bidang ekologi dan keadilan lingkungan. Manifestasi makna dari “tolong-menolong” bukan hanya pada manusia, tapi juga pada alam semesta sebagai sesama makhluk Tuhan.
Apa Prinsip Al-Maun Hijau? di antaranya adalah (1) Keadilan Sosial-Ekologis: Menyuarakan perlindungan terhadap kelompok rentan yang terdampak langsung krisis lingkungan — perempuan, anak, petani, masyarakat adat; (2) Amal Nyata Ekologis: Membersihkan sungai, menanam pohon, mengurangi plastik, pertanian organik, daur ulang, dll; (3) Ibadah Kontekstual: Salat yang menyatu dengan kesadaran merawat bumi sebagai amanah Tuhan; (4) Menolak Ekstraktivisme: Kritik terhadap tambang, sawit, dan industri yang merusak bumi, sebagai bagian dari tanggung jawab moral Islam.
Teologi Al-Ma’un memberi inspirasi untuk membangun gerakan seperti gerakan Islam yang tidak diam terhadap perampasan lahan oleh tambang dan korporasi sawit, gerakan dakwah yang bukan hanya ceramah, tapi juga aksi protes atas pencemaran lingkungan, gerakan pesantren dan masjid yang menjadi pusat pendidikan ekososialisme Islam—mengenalkan energi bersih, pertanian agroekologis, dan ekonomi solidaritas.
Krisis Bumi dan Ekologi: Realitas yang Tak Bisa Disangkal
Data global dan nasional menunjukkan tingkat kerusakan lingkungan telah mencapai titik kritis. Indonesia menghadapi deforestasi besar-besaran, pencemaran air dan udara, kehilangan keanekaragaman hayati, serta krisis iklim yang mengancam kehidupan lintas generasi. Dalam sektor tambang, jutaan hektare lahan rusak, ribuan lubang tambang dibiarkan menganga, dan air tanah tercemar logam berat.
Krisis ini terjadi bukan semata karena kelalaian teknologi, tetapi karena mentalitas antroposentris: manusia merasa berhak menguasai dan mengeksploitasi bumi tanpa batas. Inilah titik awal kehancuran ekologis.
Kapitalisme global hari ini tidak hanya menciptakan jurang kekayaan yang dalam, tapi juga menggerus daya dukung bumi. Proyek-proyek tambang, deforestasi, ekspansi sawit, pembangunan yang merampas ruang hidup rakyat—semuanya adalah wujud dari ekonomi ekstraktif yang menempatkan alam sebagai objek eksploitasi. Krisis ini bukanlah bencana alam belaka, tapi konsekuensi sistem ekonomi-politik yang eksploitatif. Maka, perlawanan terhadap kerusakan lingkungan adalah perlawanan terhadap sistem yang menindas manusia dan alam sekaligus.
Sikap manusia terhadap alam sering kali bersifat hegemonik. Alam dipandang sebagai objek yang bisa ditaklukkan, dieksploitasi, bahkan diperjualbelikan. Pola pembangunan berbasis ekstraktivisme—seperti pertambangan dan pembabatan hutan—sering diklaim demi kesejahteraan rakyat, padahal justru memperluas ketimpangan, konflik sosial, dan penderitaan rakyat kecil.
Keserakahan kapitalisme global semakin mendorong percepatan kerusakan ekologis. Dan di tengah kekosongan arah spiritual pembangunan, agama hadir untuk menyuarakan kesadaran dan pertobatan ekologis.

Green Al-Maun: Tafsir Ekoteologi atas Surah Al-Maun
Surah Al-Maun selama ini dipahami sebagai seruan atas keberpihakan kepada kaum miskin dan yatim. Namun Green Al-Maun memberi dimensi baru: bahwa menelantarkan alam dan mencemari lingkungan sama buruknya dengan menelantarkan anak yatim dan orang miskin. Sebab keduanya adalah korban dari sistem yang tidak adil.
Dalam tafsir hijau, Al-Maun menegaskan pentingnya amal sosial-ekologis. Amal shaleh bukan hanya zakat dan sedekah, melainkan juga menjaga sungai dari pencemaran, melindungi hutan dari pembalakan liar, dan menolak konsesi tambang yang merusak ruang hidup masyarakat.
Sebagai gerakan Islam modernis, Muhammadiyah memiliki warisan intelektual dan praksis yang kuat dalam mengembangkan gagasan ekoteologi Islam. Melalui Majelis Lingkungan Hidup dan gerakan Kader Hijau Muhammadiyah, Muhammadiyah menyuarakan penolakan terhadap ekstraktivisme yang merusak. Muhammadiyah bukan anti pembangunan, tetapi menolak pembangunan yang mengabaikan etika lingkungan dan nilai keadilan sosial.
Dalam konteks pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada ormas, Muhammadiyah bersikap kritis. Tawaran tersebut dinilai problematik, karena bertentangan dengan prinsip Green Al-Maun yang menolak menjadi bagian dari sistem yang merusak bumi dan menindas rakyat kecil.
Menjaga Bumi sebagai Amanah: Jalan Spiritual dan Sosial. Bagi Muhammadiyah, bumi bukan hanya sumber daya, melainkan amanah Ilahi. Dalam QS. Al-A’raf: 56, Allah memperingatkan agar manusia tidak membuat kerusakan di muka bumi setelah diperbaiki. Maka, menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah. Etika Islam harus memandu pembangunan berkeadilan ekologis.
Green Al-Maun bukan sekadar tafsir keagamaan, tetapi juga platform perlawanan terhadap kapitalisme yang membunuh bumi. Ia menempatkan ekologi, etika, dan keadilan dalam satu napas iman. Muhammadiyah dengan gerakan Al-Maun Hijau menegaskan komitmennya untuk membela masa depan bumi dan generasi mendatang. Green al maun adalah bahasa lain dari ekososialisme ala Muhammadiyah.
Ekososialisme adalah gagasan bahwa keadilan sosial dan keadilan ekologis tidak bisa dipisahkan. Ia menolak kapitalisme yang rakus, dan menawarkan sistem yang demokratis, berkeadilan, dan berkelanjutan. Dalam Islam, nilai-nilai ini sangat inline—khususnya dalam Al-Ma’un:
Nilai Al-Ma’un | Prinsip Ekososialisme | Implikasinya |
Pembelaan terhadap yatim dan miskin | Keadilan distribusi dan kesetaraan sosial | Perjuangan melawan kemiskinan dan ketimpangan |
Menolak ibadah yang tanpa aksi sosial | Menolak greenwashing dan simbolisme | Aktivisme lingkungan yang nyata |
Kecaman terhadap pengabaian hak-hak sosial | Penolakan terhadap elitisme ekologis | Demokratisasi sumber daya alam |
Spirit pemberdayaan | Kemandirian komunitas | Energi rakyat, pertanian berkelanjutan, reforma agraria |
Maka, teologi Al-Ma’un adalah cermin dari etika ekososialisme dalam tradisi Islam—sebuah etika yang mengintegrasikan ibadah dengan keadilan sosial-ekologis.
Catatan Penutup
Sudah waktunya umat beragama meninggalkan posisi netral dalam isu lingkungan. Netralitas dalam krisis ekologis adalah keberpihakan terhadap perusak bumi. Green Al-Maun adalah suara keras dari Muhammadiyah untuk membebaskan agama dari kooptasi politik dan ekonomi ekstraktif. Sebab, tak ada gunanya membangun rumah ibadah megah, jika bumi tempat kita beribadah rusak parah.
Saat hutan dibakar demi tambang nikel, sungai dikeringkan untuk proyek energi “hijau”, dan masyarakat adat terusir dari tanah leluhur, memperjuangkan lingkungan bukan sekadar pilihan—tapi kewajiban iman.
Teologi Al-Ma’un atau ekososialisme memanggil umat Islam untuk berpihak pada bumi dan rakyat tertindas. Ia memanggil kita untuk menolak kemunafikan ibadah yang hanya ritual, dan membangun agama yang membebaskan, membangun, dan memelihara bumi. Di tengah kehancuran ekologis, kita butuh Islam yang radikal—bukan dalam arti kekerasan, tetapi dalam arti berani melawan akar ketidakadilan, berani menggugat sistem yang menindas manusia dan bumi. Karena pada akhirnya, berjuang untuk keadilan ekologis adalah bagian dari beriman yang sejati.

“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yang lalai terhadap shalatnya, dan enggan menolong sesama.”
(QS. Al-Ma’un: 4–7)