Memaknai “Mudik” Dalam Sudut Pandang Ekologi

 Memaknai “Mudik” Dalam Sudut Pandang Ekologi

Bagi masyarakat Indonesia, khususnya yang tengah merantau jauh meninggalkan kampung halamannya. Mendengar istilah “mudik” pasti tidak asing lagi di telinga mereka. Momentum yang dilalui sekali dalam setahun tersebut merupakan agenda rutin yang selalu dinantikan. Sesibuk apapun pekerjaan, sepadat apapun aktivitas diperantauan, ketika bulan ramadhan tiba, mudik pun mulai menjadi topik pembicaraan. Kini, mudik sudah menjadi pemandangan biasa di Indonesia, mudik telah menjelma sebagai budaya baru masyarakat urban Indonesia.

Secara kolektif, mudik secara tidak langsung menggiring para perantau untuk pulang menengok kampung halamannya, sejenak kembali ke rumah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Secara genetis, kebiasaan mudik berkaitan erat dengan kepercayaan atau kearifan lokal kita bahwa orang asli daerah tertentu, harus mengetahui tanah airnya sendiri. Hemat saya, mudik merupakan kewajiban bagi setiap anak bangsa untuk menjaga tali genetika sosial dengan leluhurnya.

Lantas, bagaimana mudik mengajarkan kita untuk mencintai alam, lingkungan dimana kita dilahirkan? Bagaimana memaknai mudik dalam sudut pandang ekologi?

Untuk memaknai mudik dalam sudut pandang ekologi. Dalam tulisan ini penulis mengacu pada pemikiran Fritjof Capra, seorang ahli fisika modern yang menawarkan sebuah model masyarakat berkelanjutan. Masyarakat berkelanjutan yang membangun kondisi kehidupannya berdasarkan kondisi setempat, kondisi ekologis, habitat disekitar tempat tinggal yang konkret, termasuk kondisi sosial budayanya. Sebuah model masyarakat berkelanjutan yang dibangun sejalan dengan paradigma sistemik tentang alam semesta sebagai sebuah sistem kehidupan.

Model masyarakat berkelanjutan yang ditawarkan oleh Fritjof Capra adalah model masyarakat berkelanjutan yang didasarkan pada filsafat bioregionalisme.

Istilah bioregionalisme sendiri diperkenalkan oleh Allen van Newkirk sekitar awal tahun 1970-an yang kemudian mendirikan Institut Penelitian Bioregional. Newkirk memahami bioregionalisme sebagai sebuah proses teknis mengidentifikasi wilayah budaya yang ditafsirkan secara biogeografis. Di dalam batas-batas wilayah budaya ini, manusia menjaga dan memelihara beragam tanaman dan binatang, membantu konservasi dan restorasi ekosistem liar, sambil menggali kembali model-model aktivitas manusia yang selaras dengan kenyataan biologis bentang alam yang ada (Keraf, 2014).

Menurut Berg dan Dasmann, dalam Sonny Keraf (2014), menjelaskan bahwa terdapat dua prinsip dasar bioregionalisme. Pertama, “hidup di tempat” yaitu hidup mengikuti keniscayaan dan kesenangan yang disajikan oleh sebuah tempat khusus yang khas dan unik dimana setiap orang berada, dan mengembangkan cara-cara untuk memastikan bagaimana setiap orang hidup selamanya di tepat itu.

Kedua, prinsip kedua dari bioregionalisme adalah “mendiami kembali” yang artinya belajar kembali hidup ditempat, di wilayah yang telah dirusak dan dihancurkan oleh karena eksploitasi dimasa lalu. Sebuah filsafat yang mengajarkan kita untuk kembali menjadi penduduk asli dari sebuah tempat dengan menyadari adanya hubungan ekologis khusus yang terjalin dengan alam sekitar.

Berangkat dari pemikiran dua tokoh di atas, kita bisa memahami bahwa budaya mudik yang ada pada masyarakat Indonesia yang dirayakan setiap tahun bukan sekedar momentum melakukan perjalanan pulang kampung. Tetapi bioregionalisme merupakan sebuah aliran filsafat yang menyadarkan manusia bahwa perjalanan yang  dilakukan untuk kembali ke kampung halaman adalah kembali merasakan sensasi menyatunya kita dengan tempat asal, lingkungan dimana kita dilahirkan dan dibesarkan.

Sebuah praktik budaya yang sekaligus menjadi sebuah peringatan bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari tempat asalnya, habitatnya, alam sekitar, ruang hidupnya. Mudik mengajak kita untuk belajar bagaimana seharusnya hidup sedekat mungkin dengan dan bersentuhan langsung dengan segala keunikan dan kekhasan tanah, air, angin, dan tempat dimana kita dilahirkan dan dibesarkan.

Menurut Aldi Daniealdi (2019), sebagaimana dilansir Geotimes.co.id mengatakan bahwa mudik juga bisa diartikan sebagai napak tilas, sebuah perjalanan ke masa lalu. Saat mudik kita bertemu dengan ibu, rahim kehidupan kita, dan tiang kehidupan kita di dunia dan akhirat. Kita juga bertemu dengan ayah, yang dalam bahasa arab diartikan sebagai tanda, atau tanda kehidupan. Karena setiap kita, pasti membawa tanda kehidupan dari ayah.

Dengan demikian, mudik dapat juga diartikan sebagai upaya untuk menghimpun kembali secara utuh perangkat kehidupan tersebut agar harmonis dengan semua aspek kehidupan yang sedang kita jalani sekarang dan sejajar dengan kebutuhan kita di masa depan. Orang yang mudik dalam budaya Indonesia atau mendiami kembali dalam prinsip bioregionalisme, akan lebih berpotensi untuk memahami hidupnya secara lebih utuh daripada yang tidak pernah kembali.

Untuk itu, menjalani “hidup ditempat” (living in place) dan “mendiami kembali” (reinhabitation) dalam sudut pandang bioregionalisme secara tidak langsung mengajak kita sebagai manusia untuk lebih peduli pada kondisi lingkungan seperti sedia kala. Kondisi lingkungan yang belum terjamah, suasananya yang masih hijau, asri dan nyaman, serta praktek kehidupan masyarakatnya yang masih bergantung dengan alam sekitar.

Mudik dalam sudut pandang ekologis mengajak kita kembali ke kampung halaman untuk selalu menjaga daya dukung tempat itu. Mudik atau “pulang kampung” mengajak manusia modern untuk berjuang menyelamatkan identitas bersamanya sebagai mahluk ekologis. Manusia modern harus membangun kembali, memulihkan kembali kondisi ekologi, habitat, bagi identitas kolektifnya dan menyatukan kembali budaya manusia dengan alam, mengintegrasikan kembali manusia dengan tempa asalinya.

Bahkan, Al qur’an juga mengingatkan dan mengajak umat manusia di muka bumi untuk “kembali” menjalani kehidupan yang selaras dan harmoni dengan alam. Sebagaimana dituliskan bahwa:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Rum: 41).

Demikian, semoga mudik yang telah menjadi sebuah fenomena dalam masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat perantau tidak hanya dimaknai sebagai kembali ke kampung halaman dalam konteks melakukan ibadah sosial semata, mudik juga bukan sekedar perjalanan seremonial kembali ke rumah. Tetapi, lebih luas lagi, mudik harus dimaknai secara ekologis yang mengajak manusia untuk lebih peduli pada kondisi ekologis tanah kelahirannya, kampung halaman dimana kita dibesarkan dengan segala keunikannya.

Bagikan yuk

Arifin M Adi