Polemik Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanahnya

Judul Buku : Masyarakat Hukum Adat
Nama Penulis : Noer Fauzi Rachman, Mia Siscawati
Penerbit : Insist Press
ISBN : 978-602-8384-83-4
Tahun Terbit : Agustus 2014
Jumlah Halaman : 188 Halaman
Kesatuan masyarakat hukum adat ini tidak hanya diakui tetapi juga dihormati, dimana masyarakat hukum adat mempunyai hak hidup yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintah lainnya. Undang-Undang Dasar tahun 1945 telah mengatur secara jelas terkait dengan masyarakat hukum adat yakni termuat dalam pasal 18B ayat 1 bahwa: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur undang-undang.” Dan pasal 2: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
Kemudian, diperkuat kembali dalam pasal 28I ayat 3 yakni: “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah salah satu lembaga negara yang bersifat independen dan menjalankan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Salah satu tugas dan kewenangan mahkamah konstitusi adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Dan putusan mahkamah konstitusi bersifat final berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar”. Sehingga putusan yang dikeluarkan oleh mahkamah konstitusi tidak dapat untuk diajukan upaya hukum atau upaya hukum luar biasa.
Buku ini cukup lengkap menjelaskan terkait dengan masyarakat hukum adat dan asal usul masalah agraria. Penggunaan istilah masyarakat hukum atau dikenal rechtsgemeeschap dalam bahasa Belanda yang artinya masyarakat hukum, sehingga dasar penggunaan kata masyarakat hukum adat adalah “masyarakat hukum dan adat”, bukan “masyarakat dan hukum adat”. Penguasaan tanah oleh masyarakat adat mengalami perubahan yang cukup signifikan pada masa Kolonial Belanda sekitar tahun 1800 dari perusahaan Verenighe Oost-Indische Compagnie, VOC. Hingga muncul sistem tanam paksa sepanjang tahun 1830-1870 untuk seluruh pulau jawa.
Regulasi penguasaan terhadap tanah di Indonesia dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda yakni “boschordonantie voor java en madoera (UU kehutanan untuk pulau jawa dan madura) pada tahun 1865 dan kemudian “agrarische wet” (UU agraria) 1870 yang memberi izin terhadap pihak-pihak swasta asing untuk melakukan produksi komoditas global seperti tebu, kopi, tembakau, dll. Serta peraturan yang dikenal “domeinverklaring” (pernyataan domein) pada tahun 1870.
Penetapan dan Pemberlakuan tiga regulasi tersebut secara resmi mengakibatkan negara memiliki penguasaan terhadap tanah dan sumber daya hutan dengan dalil semua tanah hutan yang bukan milik siapa-siapa atau pribadi merupakan milik Negara. Selain itu juga pemerintah kolonial hindia belanda menetapkan batas-batas antara tanah pertanian dengan tanah hutan, serta mengorganisasi penetapan wilayah-wilayah yang dikuasai negara dan ini merupakan kawasan hutan yang ditetapkan secara politik (political forests).
Hal yang juga menarik dalam buku ini adalah kritik dan pembelaan yang dilakukan oleh seorang Profesor hukum dari Belanda bernama Cornelis Van Vollenhoven di awal abad ke-20 terhadap Pemerintah Hindia Belanda yang beliau tulis dalam bukunya berjudul “De Indonesier En Zijn Grond” (Orang Indonesia Dan Tanahnya), beliau menunjukan bahwa perbuatan pemerintah Kolonial yang menganggap tanah pertanian rakyat yang selesai di pakai dalam berladang di klaim sebagai tanah Negara merupakan ketidakadilan dan merupakan pelanggaran Hak.
Pendapat ini mendapatkan reaksi yang berbeda oleh para sarjana-sarjana hukum dari Utrecht yakni G.J. Nolst Trenite, Izak. A. Nederburgh, dan Eduard H. Jacob, bahwa “penguasaan wilayah adat oleh masyarakat hukum adat harusnya menjadi hak publik dengan alasan kedaulatan negara dan negara menjadi pemilik tanah dan seluruh sumber daya alam pada wilayah jajahan”.
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda kedudukan asas domein Negara berdasarkan Hukum Barat sangat kuat hingga menjadi sebuah konsep politik hukum yang diperlakukan dalam mewujudkan penguasaan hutan oleh badan kehutanan pemerintah maupun penguasaan tanah-tanah perkebunan oleh penguasa asing. Soepomo yang akrab dengan gagasan “satu abad ketidakadilan” dari Van Vollenhoven mengkritisi asas ini sebab bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat indonesia dan asas daripada negara yang merdeka dan modern.
Terjadi dualisme antara hukum yang dipaksakan oleh barat dengan hukum adat yang hidup dalam masyarakat indonesia. Sehingga asas domein ini digantikan dengan konsep politik hukum yang baru yakni undang-undang no. 5 tahun 1960 peraturan dasar pokok-pokok agraria (UUPA) merupakan undang-undang pokok agraria nasional yang pertama berdasarkan pancasila dan UUD 1945 hak menguasai dari negara (HMN) merupakan wewenang dari pemerintah pusat yang diadopsi dari hukum adat.
Masa Orde Baru
Hingga pada rezim Orde Baru pemerintahan Soeharto sebagai rezim otoriter mengeluarkan UU No. 5 tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan yang kembali mengadopsi Undang-Undang Pemerintah Hindia Belanda asas domein dimana kehutanan ekstraktif dan memperkuat sistem sentralistik pengelolaan hutan. Dengan menerapkan kehutanan ekstraktif berbasis kayu dengan memberi lisensi atas tanah pada perusahaan swasta dalam penebangan kayu maupun BUMN, pemerintah rezim Orde Baru telah memfasilitasi proses eksploitasi hutan secara besar-besaran. Pada pertengahan tahun 1980 proses ekstraksi besar-besaran hingga menarik sekelompok investor asing untuk mendukung pembangunan industri berbasis kayu yakni plywood dan perusahaan-perusahaan kertas.
Sampai akhir 1980-an, Indonesia adalah negara produsen plywood terbesar di dunia dan meraih 75% pasar dunia. Ekstraksi hutan secara besar-besaran juga mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan. Angka deforestasi pada tahun 1982 dan 1993 mencapai 2,4 juta hektar per tahun. Dari tahun 2000 sampai 2005 deforestasi dan perusakan hutan terus berlangsung dan Indonesia tercatat sebagai salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan angka bersih kehilangan hutan paling besar pertahun. Selain itu, Indonesia juga dianggap sebagai salah satu dari tiga negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia akibat perubahan guna tanah dan deforestasi. Tidak hanya itu, pada masa rezim orde baru juga menganggap masyarakat adat sebagai masyarakat terasing dan masyarakat terbelakang.
Proses kriminalisasi dan konflik agraria yang terbentuk memiliki dimensi gender. Perempuan adat dan kelompok marjinal lain menjadi pihak yang sering kali menghadapi diskriminasi dan kekerasan berbasis gender baik kekerasan seksual hingga beragam bentuk kekerasan lain. Menghadapi kriminalisasi dan konflik agraria masyarakat adat memberikan perlawanan dan kaum perempuan adat memiliki peran penting dalam melakukan perlawanan, pada akhir tahun 1980 seorang perempuan dari kampung Sugapa, Siaen, Sumatra Utara bernama Nai Sinta memimpin gerakan perlawanan perempuan Sugapa terhadap perampasan lahan oleh PT. Inti Indorayon Utama Industri Pulp dan Kertas yang mendapatkan konsesi dari Pemerintah.
Ditanah Molo, Nusa Tenggara Timur, Aleta Baun, seorang perempuan dari Desa Netpala, Kecamatan Molo Utara, Kabupaten Timur Tengah Selatan, memimpin gerakan perlawanan terhadap industri tambang sejak tahun 1996. perlawanan juga datang dari tanah Papua, Mama Yosepha memimpin gerakan perlawanan masyarakat adat Amungme terhadap Negara atas berbagai bentuk ketidak adilan dan diskriminalisasi gender dalam pengambilalihan penguasaan wilayah adat Amungme untuk dijadikan kawasan pertambangan yang izin/lisensinya diberikan kepada perusahaan multinasional Freeport, dan masih banyak perlawanan perempuan lainya di berbagai daerah di indonesia.
Pasca Orde Baru
Perkembangan regulasi terkait penguasaan negara terhadap hutan dan masyarakat hukum adat terus berlanjut hingga masa pasca runtuhnya rezim orde baru tahun 1999. Hal ini ditandai dengan lahirnya UU no. 14 tahun 1999 yang berbeda dengan UU sebelumnya (UU no. 5 tahun 1967). Dalam UU no. 14 tahun 1999 mengadopsi pendekatan ekosistem, yakni hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat disahkan.
Dalam UU ini juga mengatur terkait ada dua kategori hutan: hutan negara dan hutan hak. Hutan negara merujuk pada hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan hak merupakan hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah atau biasa disebut hutan milik atau hutan rakyat. Kemudian keberadaan hutan adat sudah mulai diakui, tetapi masih berada dalam kategori hutan negara. Padahal pada kenyataannya hutan adat dan masyarakat hukum adat sudah ada jauh sebelum negara indonesia lahir.
Pada tahun yang sama, masyarakat hukum adat bersama-sama mengikatkan diri pada suatu perkumpulan yang dikenal dengan Aliansi Masyarakat Hukum Adat Nusantara (AMAN), gerakan tersebut menuntut negara agar dapat mengakui keberadaan masyarakat adat dan hak-hak yang melekat pada masyarakat adat tersebut.
Hal yang menarik pula dari Aliansi Masyarakat Hukum Adat Nasional (AMAN) yakni terkait MOTO yang digaungkan adalah “kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak akan mengakui negara.” Moto ini memiliki kekuatan atau power dalam menumbuhkan semangat para pejuang masyarakat adat hingga menarik perhatian media masa, elit politik, pemerintah, serta akademisi internasional dalam melihat eksistensi masyarakat adat dan berbagai tuntutannya.
Serangkaian aksi dilakukan di berbagai tempat, hingga Kongres Masyarakat Hukum Adat Nusantara (KMAN) pertama kali dilakukan di Jakarta pada pertengahan Maret 1999 dan didukung penuh oleh para aktivis lingkungan, Hak Asasi Manusia (HAM), dan agraria di dalam dan di luar negeri. Dalam kongres tersebut berbagai pandangan masyarakat hukum adat terkait pemerintah republik indonesia telah melakukan penindasan, penghancuran secara sistematis, perampasan dan penggusuran hak-hak masyarakat adat serta melakukan pelanggaran HAM.
Sebagai suatu kelompok masyarakat adat sudah seharusnya negara dalam hal ini pemerintah mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak yang ada. Diakuinya hak kewarganegaraan suatu kelompok oleh negara sangatlah penting, sebab kewarganegaraan adalah hak untuk mempunyai hak-hak (rigth to have rights). Begitupun sebaliknya, penyangkalan terhadap hak kewarganegaraan suatu kelompok yang hidup dalam wilayah kekuasaan suatu negara akan berakibat fatal untuk nasib kelompok-kelompok tersebut.
Sebagai suatu kelompok masyarakat adat sudah seharusnya negara dalam hal ini pemerintah mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak yang ada. Diakuinya hak kewarganegaraan suatu kelompok oleh negara sangatlah penting, sebab kewarganegaraan adalah hak untuk mempunyai hak-hak (rigth to have rights).
Perjuangan dan tekanan yang dilakukan AMAN terhadap pemerintah membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Keberadaan masyarakat adat juga kini diperhadapkan dengan sistem kapitalisasi yang dibangun oleh pemerintah dengan kebijakan pemberian izin dan/atau konsesi-konsesi baik melalui regulasi yakni Undang-Undang (UU) maupun putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Badan Pejabat Publik atau biasa dikenal Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) pada perusahaan-perusahaan kapitalis yang terus menerus mengekstraksi kekayaan alam dan menciptakan sistem produksi untuk pasar global.
Dalam ekonomi pasar kapitalistis, bukanlah ekonomi yang melekat dalam hubungan-hubungan sosial, melainkan hubungan-hubungan sosial yang melekat dalam sistem ekonomi kapitalis. Pasar kapitalis memiliki kekuatannya sendiri yang dipercayai bisa mengatur dirinya sendiri. Tetapi, sebenarnya adalah pemerintah atau badan-badan negaralah yang sesungguhnya membuat pasar kapitalis agar dapat terus bekerja.
Tuntutan AMAN agar negara mengakui masyarakat adat merupakan upaya organisasi gerakan rakyat agar negara bersifat protektif terhadap wargannya yang terancam keberadaannya. Hingga akhirnya melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35/PUU-X/2012 menetapkan bahwa hutan adat tidak lagi diklasifikasikan sebagai hutan negara, melainkan sebagai hutan hak. Sehingga, putusan mahkamah konstitusi merupakan babak baru pengakuan terhadap masyarakat adat di indonesia sebagai penyandang hak (rights bearer) dan subjek hukum atas wilayahnya berdasarkan pasal 18B Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945.