Saat Advokasi Membutuhkan Riset

Pierre Bourdieu pernah menegaskan bahwa setiap perjuangan sosial membutuhkan modal pengetahuan agar mampu menantang dominasi dan melahirkan perubahan. Pengetahuan, bagi Bourdieu, bukanlah sesuatu yang netral, tetapi sebuah kekuatan yang bisa menjadi sumber kuasa. Pandangan ini bersinggungan dengan pemikiran John Dewey, yang melihat pendidikan kritis sebagai sarana melahirkan warga negara yang aktif, reflektif, dan bertanggung jawab terhadap kehidupan publik. Jürgen Habermas bahkan menekankan pentingnya ruang publik yang dibangun atas dasar argumentasi rasional, sehingga kebijakan tidak sekadar lahir dari klaim sepihak atau tekanan politik, melainkan dari diskursus yang berbasis pada pengetahuan yang sahih.
Jika kita tarik refleksi para pemikir global tersebut ke Indonesia, khususnya dalam tradisi Muhammadiyah, maka benang merahnya menjadi jelas yakni riset dan pendidikan adalah pilar advokasi. KH Ahmad Dahlan sejak awal menekankan bahwa Islam bukan sekadar mengajarkan ibadah, tetapi juga membangun akal sehat, ilmu, dan kesadaran sosial. Dalam perkembangannya, tokoh-tokoh Muhammadiyah menempatkan riset sebagai basis dakwah dan advokasi kebijakan publik. Hal ini menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah tujuan akhir, melainkan instrumen perjuangan yang melekat pada misi kemanusiaan.
Tradisi itu kini diteruskan oleh Muhammadiyah melalui Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah bekerja sama dengan CELIOS. Pada 20–21 Juni 2025, digelar Sekolah Riset Advokasi pertama di Yogyakarta, disusul putaran kedua di Sumatera Barat pada 29–31 Agustus 2025. Kegiatan ini menghadirkan para ilmuwan dari LHKP PP Muhammadiyah dan CELIOS sebagai pemateri, yang tidak hanya membekali peserta dengan keterampilan riset, tetapi juga strategi advokasi berbasis data. Dari ruang ini lahir harapan agar gerakan sosial Muhammadiyah tidak hanya bergerak dengan semangat moral, tetapi juga dengan ketajaman analisis dan legitimasi pengetahuan.
Sekolah Riset sebagai Ruang Belajar Kesadaran Kritis
Kekuatan sekolah riset pertama-tama terletak pada kemampuan analitis dan metodologis yang dilatih di dalamnya. Sekolah riset membantu individu membaca realitas secara kritis dan sistematis. Data bukan lagi sekadar angka atau cerita, melainkan pengetahuan yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan cara ini, advokasi yang dijalankan tidak berhenti pada retorika, melainkan memperoleh legitimasi dari basis empiris yang kuat.
Kekuatan kedua adalah sifatnya sebagai ruang kolektif dan komunitas belajar. Sekolah riset mempertemukan beragam latar belakang, pengalaman, dan perspektif. Pertukaran ide semacam ini membuat pengetahuan tidak hanya berputar dalam ruang akademik, melainkan menjelma menjadi energi sosial yang bisa menggerakkan komunitas. Di sinilah sekolah riset berbeda dengan pelatihan teknis yang bersifat satu arah. Ia adalah arena pembentukan subjek-subjek kritis yang siap bergerak bersama.
Kekuatan ketiga, sekolah riset berfungsi sebagai penyeimbang narasi publik. Dalam situasi di mana hoaks dan manipulasi data marak, keberadaan komunitas riset yang memproduksi pengetahuan alternatif menjadi penting. Mereka bisa menghadirkan wacana tandingan yang berakar pada fakta, sekaligus memberi arah bagi publik agar tidak terseret dalam opini dangkal. Dengan demikian, sekolah riset tidak hanya mendidik, tetapi juga menjaga kualitas demokrasi.
Pengetahuan sebagai Fondasi Advokasi
Pertama, sekolah riset memberikan legitimasi advokasi. Suara advokasi yang didukung oleh data dan analisis akan lebih dipercaya, baik oleh publik maupun oleh pembuat kebijakan. Di era digital di mana semua orang bisa bersuara, legitimasi menjadi pembeda antara advokasi yang serius dan sekadar slogan.
Kedua, sekolah riset membantu mengarahkan strategi gerakan. Data menjadi peta jalan untuk mengenali siapa aktor yang paling berpengaruh, di mana titik lemah sebuah kebijakan, serta bagaimana intervensi dapat dilakukan secara efektif. Dengan riset, advokasi tidak melulu reaktif, tetapi mampu merancang langkah-langkah yang lebih terukur dan berdampak.
Ketiga, sekolah riset mencetak kader aktivis berbasis pengetahuan. Generasi baru aktivis tidak hanya dibekali semangat, tetapi juga kedalaman analisis. Ini penting untuk mencegah advokasi terjebak dalam sloganisme atau sekadar mobilisasi massa tanpa arah. Riset memberi kedalaman, sementara advokasi memberi arah. Keduanya bersenyawa dalam diri kader yang lahir dari sekolah riset.
Sekolah riset adalah investasi jangka panjang bagi gerakan sosial dan kebangsaan. Dalam tradisi teori sosial, Bourdieu, Dewey, hingga Habermas menegaskan bahwa pengetahuan adalah pilar perubahan. Dalam tradisi keislaman dan kebangsaan Indonesia, Muhammadiyah sejak awal telah mempraktikkan hal ini dengan menggabungkan dakwah, pendidikan, dan riset sebagai sarana pembebasan umat.
Kini, ketika advokasi seringkali tereduksi menjadi kampanye singkat di media sosial atau aksi sesaat di jalanan, sekolah riset menawarkan jalan lain yakni tentang memperkuat basis pengetahuan agar advokasi tidak kehilangan pijakan. Ia adalah jembatan yang menyatukan riset dan gerakan, akal dan aksi, ilmu dan perubahan. Dengan demikian, sekolah riset bukan hanya ruang belajar, tetapi ruang menyiapkan masa depan advokasi yang lebih beradab, rasional, dan berkelanjutan.