Pengalaman Mendekati Kematian

 Pengalaman Mendekati Kematian

Sumber: en.qantara.de

Saya mengalami kecelakaan maut pada 25 Desember 2010 lalu. Catatan ini bersumber dari penuturan istri saya karena saya tak pernah ingat sama sekali detail kejadiannya, baik sebelum ataupun sesudahnya. Saya mengalami koma panjang setelah kecelakaan dan amnesia pascaoperasi kepala/otak. Saya berusaha keras menyusun keterangan istri saya melalui catatan ini di tengah kesadaran dan ingatan yang mulai membaik dalam minggu ini meski belum penuh 100 persen.

Malam ini istri saya bercerita bahwa saya sekeluarga mengalami kecelakaan tunggal ketika saya, istri dan dua anak saya berkendaraan sepeda motor pada 25 Desember 2010 dari Kota Banjar (Jabar) menuju Panumbangan, Ciamis. Ketika itu saya bermaksud menengok ibu saya, yang saat ini tinggal seorang diri di Panumbangan setelah ayah saya meninggal pertengahan Oktober 2010. Saya memanfaatkan liburan sekolah anak-anak.

Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kecelakaan itu pun terjadi sekitar pukul 6 pagi di Sukahaji, Cihaurbeuti, Ciamis. Sampai saat ini saya tak ingat persis bagaimana kecelakaan itu terjadi. Yang saya ingat ada lubang di jalan. Begitu jatuh, saya langsung pingsan dan mengalami koma, sementara istri saya terlempar ke tengah jalan, pingsan sebentar, lalu bangun dan meminta pertolongan. Untung saja tak ada mobil yang lewat sepagi itu. Sedangkan dua anak saya yang baru berumur 6 dan 7 tahun ikut terjatuh dan berada dalam posisi terhimpit oleh sepeda motor yang kami tumpangi. Sesaat kemudian mereka menangis dan ditolong dengan susah payah oleh istri saya yang sudah siuman. Pertolongan dari penduduk setempat pun berdatangan.

Untungnya, istri dan anak-anak saya tidak mengalami kondisi yang sulit. Sebaliknya, saya mengalami situasi yang rumit karena helm saya terlepas dan setelah diCT-scan di RSUD Tasik, diketahui bahwa kepala saya mengalami keretakan. Selain itu, saya juga mengalami pendarahan menyeluruh di otak, sehingga saya harus ditangani dengan tindakan operasi besar di kepala/otak. Karena peralatan dan tim dokter tidak memadai, maka RSUD Tasik merujuk saya untuk ditangani di RS Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Dibantu saudara-saudara saya yang datang kemudian–setelah dikontak istri saya melalui HP–istri saya, ayah mertua saya, perawat, dan sopir ambulans (sopir ambulans ini sulit didapatkan karena sedang libur natal) membawa saya meluncur dari RSUD Tasik ke RSHS Bandung yang ditempuh dalam waktu 4 jam.

Namun saya baru dibawa dari RSUD Tasik pada pukul 2 siang dan tiba di RSHS Bandung pada pukul 6 sore, langsung dioperasi pada pukul 7 malam, dan operasi selesai pada pukul 10 malam. Berarti ada jeda 13 jam antara peristiwa kecelakaan pukul 6 pagi sampai tindakan operasi besar kepala/otak di RSHS Bandung pukul 7 malam. Ini sungguh sebuah penanganan yang sangat terlambat karena terbelit prosedur mobil ambulans dan jauhnya jarak Tasik-Bandung. Padahal di RSUD Tasik, kata istri saya, saya sudah muntah darah, kejang-kejang, mengeluarkan busa dari mulut, dan bahkan terdengar suara seperti orang ngorok dari mulut dan hidung saya–tanda-tanda orang yang mendekati kematian. Ketika saya tiba di RSHS Bandung pada pukul 6 sore, berkali-kali tim dokter di RSHS Bandung memompa jantung saya sebelum operasi dilakukan. Menurut dokter bedah yang menangani saya, saya mengalami koma dan baru sadar pascaoperasi sekitar pukul 9 pagi keesokan harinya (26 Des 2010).

Kecelakaan itu merenggut sebagian kesadaran dan ingatan saya. Saya mengalami disorientasi waktu (jam, hari, dan tanggal), tempat, dan identitas orang-orang yang saya kenal (terutama nama karena kalau wajah atau ciri-ciri fisik saya masih ingat). Saat ini saya seperti melihat dunia yang baru karena ingatan saya tentang tempat (jalan, dan bangunan)–bahkan untuk tempat yang sangat akrab dengan saya, termasuk rumah sendiri, sebagian hilang. Alhasil, saya seperti melihat dunia yang baru atau pangling melihat suatu tempat yang bahkan biasa saya kunjungi, termasuk rumah saya, meskipun samar-samar saya masih ingat beberapa detailnya.

Apa yang terjadi kemarin dan hari-hari sebelum hari ini tidak tersimpan dalam memori dan “hardidisk” otak saya sebagai kemarin, tetapi sebagai masa yang entah bagaimana mendefinisikannya. Waktu dan seluruh kejadian yang sudah terlewat seperti tersimpan sebagai mimpi dalam memori atau “hardisk” otak saya, sebagian tersimpan, sebagian hilang.

Bahkan atas seluruh kejadian yang terjadi pascaoperasi, terutama selama perawatan 11 hari di kamar perawatan RS Hasan Sadikin Bandung dan selama 7 hari perawatan di rumah kakak sepupu saya di Bandung, saya hampir tidak ingat kecuali beberapa potongan kejadian setelah saya sadar dari operasi. Itupun sangat samar-samar, seperti kalau saya sedang bermimpi. Bahkan sampai sekarang saya sudah lupa siapa saja teman atau saudara yang menjenguk saya selama 11 hari di RSHS Bandung dan selama 7 hari di rumah kakak sepupu di Bandung.

Saya hanya mendapat cerita dari isteri saya. Ya, karena saya mengalami amnesia cukup lama dan kondisi fisik yg tidak normal, utamanya mata saya yang tidak bisa melihat normal dan telinga yang pendengarannya menjadi agak aneh. Mata kanan saya sulit dibuka dan lemah sekali retinanya, serta putus saraf-sarafnya. Akhirnya sampai saat ini saya hidup dengan mengandalkan pandangan mata kiri yang terbuka lebih kecil, yang tentu saja menghasilkan pandangan yang berbeda dari pandangan normal.

Hilangnya kesadaran dan sebagian ingatan ditambah pandangan mata yang berbeda dan pendengaran telinga yang agak aneh menghasilkan pikiran dan perasaan yang berbeda. Hal ini pun mempengaruhi kesadaran saya. Definisi tentang “diri”, “sekarang”, “di sini” dan “nyata” timbul tenggelam dari pikiran dan perasaan saya hari-hari ini. Saya pun bertanya-tanya terus dalam hati hari-hari ini: apakah hidup yang saya jalani sekarang ini, termasuk ketika mengetik catatan ini, betul-betul hidup yang nyata atau saya sedang masuk dunia khayalan, dunia lain, dunia impian atau dunia apapun namanya. Bahkan sempat terbersit dalam pikiran saya untuk bertanya-tanya sendiri: apakah dunia yang saya alami dan lihat sekarang ini adalah dunia setelah kematian karena semua tampak dan terasa berbeda. Saya seperti berjarak dan berada di luar dunia, semua objek yang saya lihat tampak kelam, buram, dan tidak jelas.

Saya menduga ini adalah kesadaran semu, barangkali pengaruh obat bius waktu operasi atau trauma benturan keras atau gejala normal dari amnesia atau bisa jadi karena belum normalnya fungsi panca indera saya (terutama mata, telinga, dan otak). Kini berangsur-angsur kesadaran orisinal saya mulai mengumpul dan mulai meyakini bahwa momen yang saya alami dan lihat sekarang ini adalah hidup yang nyata, dan itu berarti saya diberikan kesempatan kedua oleh Gusti Allah untuk meneruskan hidup saya, untuk melanjutkan angan dan cita yang belum tuntas.

Itu seperti mukzizat bagi diri saya. Saya mengalami pengalaman spiritual yang luar biasa. Saya merasa diangkat dari kematian, seperti dilahirkan kembali dan menjadi manusia baru. Ya, pascaoperasi, terutama pada minggu-minggu awal ketika saya sadar dari koma pascaoperasi, saya merasa seperti seorang bayi yang baru keluar dari kandungan ibunya, merasa seperti terlahir kembali, melihat dunia dengan penglihatan, pendengaran, pikiran, dan perasaan yang berbeda, dan sama sekali baru.

Saat ini saya merasa menjalani hidup yang sama sekali baru. Ini seperti titik balik! Kecelakaan ini menjadi blessing in disguise bagi hidup saya yang lebih bermakna. Bukan main! Hidup saya jauh lebih bergairah meski menghadapi keterbatasan fisik. Saya juga semakin sayang dengan orang-orang yang saya cintai: utamanya orangtua, istri, dan anak-anak. Bahkan istri dan anak-anak saya menjadi motivasi terbesar saya untuk sembuh. Saya pun merasa makin disayang sama Gusti Allah. Alhasil saya semakin mudah mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.

Terima kasih, ya Allah! Semoga sisa umur ini bisa saya dedikasikan untuk kemanfaatan yang besar bagi jutaan mahkluk-Mu yang di muka bumi, aamiin.

Asep Mulyana
Bagikan yuk

Asep Mulyana

Asep Mulyana merampungkan pendidikan S1 pada Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada (UGM). Pada 2006—2018 ia bekerja sebagai peneliti di Komnas HAM. Pada 2008 ia mengikuti International Human Rights Training Programme (IHRTP) di Kanada dan melanjutkan studi pada Program S2 HAM dan Demokrasi di UGM dan University of Oslo, Norwegia. Pada 2015 Asep mengikuti Leadership Training di Johns Hopkins University, Amerika Serikat. Lalu sejak 2018 Asep melanjutkan studi doktoral bidang ilmu politik di UGM atas beasiswa PhD dari Universitas Leuven, Belgia. Ia dapat dihubungi via e-mail: asepmulyana@mail.ugm.ac.id.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *