KELUAR DARI KETERGANTUNGAN TIMAH: MENCARI EKONOMI ALTERNATIF DAN BERKELANJUTAN DI BELITUNG

Sebuah resensi buku yang bertajuk Keluar dari Ketergantungan Timah : Mencari Ekonomi Alternatif dan Berkelanjutan di Belitung.
Penerbit: PolGov UGM, 2022
Editor: Nanang Indra Kurniawan
Desain Sampul: Yohanes Paulus Mahadma Khrisna
ISBN: 978-602-53626-4-4
Timah dan Ketergantungan Terhadap Ekonomi Ekstraktif
Buku ini menjelaskan mengenai dinamika sosio-ekonomi yang ada dalam masyarakat Belitung, terkhusus dalam ruang lingkup ketergantungan terhadap ekonomi ekstraktif yang banyak merusak lingkungan. Seperti yang kita ketahui bersama, wilayah bangka-belitung merupakan negara yang kaya akan timah, bahkan menjadi daerah penyumbang timah terbesar yang membuat Indonesia dinobatkan sebagai negara penghasil timah terbesar kedua setelah China. Hal tersebut yang membuat bangka-belitung banyak dilirik oleh berbagai kepentingan. Dalam proses perjalanannya, pertambangan timah di Belitung sudah ada sejak abad ke 17, namun tidak semassif sebelum kedatangan Kolonial Belanda yang banyak mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia. Pasca kemerdekaan pun setelah adanya nasionalisasi perusahaan, Indonesia masih belum bisa melepaskan ketergantungannya pada ekonomi ekstraktif, bahkan intervensi pemerintah pusat semakin kuat karena aliran pemasukan semakin besar. Tidak berhenti sampai disitu, hadirnya Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang membawa semangat desentralisasi memberikan ruang politik penuh kepada pemerintah pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin-izin pertambangan skala kecil yang dikelola masyarakat. Hingga tahun 2015 terdapat setidaknya 1.068 perusahaan pemilik izin usaha pertambangan. Jumlah ini belum termasuk perusahaan-perusahaan pertambangan yang masih belum tersertifikasi serta aktifitas-aktifitas pertambangan ilegal.
Tantangan terbesar yang membuat masyarakat Belitung susah untuk melepaskan dari jeratan ketergantungan ekonomi ekstraktif, tidak terlepas dari ladang basah yang mereka dapatkan karena bisa sebagian besar bekerja disektor pertambangan. Kuatnya ketergantungan tersebut bisa kita lihat pada pengalaman tahun 1994, dimana PT. Tambang Timah memberhentikan sekitar 20.000 karyawan perusahaan di Belitung yang membuat guncangan ekonomi besar tidak hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk pemerintah belitung. Namun kondisi tersebut perlahan mulai luntur, gagasan mengenai hadirnya ekonomi alternatif mulai muncul pada tahun 2014 untuk melepaskan jeratan ketergantungan tersebut. Para tokoh belitung mulai berkumpul untuk memikirkan jalan alternatifnya.
Peluang, Kesadaran, dan Pembelajaran Berharga
Sektor pariwisata menjadi sektor yang berkembang cukup besar dan menjadi harapan alternatif untuk lepas dari pertambangan. Sejak kemunculan film “laskar pelangi” serta dukungan dari masyarakat lokal dan pemerintah daerah, Belitung menjadi salah satu daerah yang banyak diminati oleh para wisatawan. Untuk Kabupaten Belitung, pada tahun 2014 total kunjungan wisatawan mencapai 281.049 orang, sementara di tahun 2015 sebanyak 251.440 orang. Angka ini meningkat pesat di tahun 2018 dimana jumlah wisatawan yang datang berjumlah 812.567 orang (Harefa, 2020). Peningkatan ini juga berdampak pada bergeraknya ekonomi masyarakat baik yang terkait langsung dengan pariwisata seperti hotel, restoran, jasa wisata maupun aktivitas ekonomi lain seperti perdagangan, transportasi, dll.
Sektor kedua yang ikut berkembang pesat juga adalah sektor pertanian. Di tahun 2020 Provinsi Bangka Belitung menjadi penghasil lada terbesar di Indonesia dengan produksi sebesar 33.810 ton atau 38,77 persen dari total produksi nasional sebesar 87.202 ton (Katadata, 2021). Mayoritas produksi ini berasal dari kebun-kebun rakyat dan melibatkan sekitar lima puluh tujuh ribu keluarga petani. Di Provinsi Bangka Belitung pusat produksinya lada terletak di Bangka Selatan yang merupakan wilayah penghasil dua pertiga lada Provinsi Bangka Belitung. Di Kabupaten Belitung produksi tahun 2020 tercatat sebesar 6.294,04 ton (Belitung Satu Data, 2021) sementara untuk Kabupaten Belitung Timur sebesar 1.978,48 ton (BPS Kabupaten Belitung Timur, 2021). Ini artinya Belitung menyumbangkan sekitar 24 persen total produksi lada di Provinsi Bangka Belitung. Sepertiga dari komoditas produksi lada dari Provinsi Bangka Belitung ini diekspor ke negara-negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Perancis, Jerman, Jepang, China dan Singapura dengan harga jual mencapai lebih dari delapan dollar AS per Kg (Kompas, 2021).
Hadirnya sektor pariwisata dan pertanian yang menjadi angin segar tetap mendapatkan tantangan. Terjadi ketegangan baru baik di tingkat elit maupun masyarakat mulai muncul seiring berkembangnya wacana ekonomi non-ekstraktif serta dorongan untuk perubahan sektor ekstraktif yang berkelanjutan. Sekitar oleh dua ribu orang yang terdiri dari berbagai macam elemen seperti nelayan, pelaku pariwisata, aktivis lingkungan yang didukung oleh elit lokal di Kabupaten Belitung dan Belitung Timur menentang PT Timah untuk mengembangkan penambangan laut sejauh 0-2 mil dari pesisir pantai. Dalam pengoperasiannya, PT Timah akan menggunakan Kapal Isap Produksi (KIP). Kapal-kapal ini akan mengeruk dasar laut untuk mencari kandungan pasir timah yang berada di sela-sela terumbu karang. Mereka yang berdemonstrasi menganggap bahwa aktivitas Kapal Isap Produksi ini akan mengancam ekosistem laut.
Terlepas dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Belitung, yang harus kita sadari Belitung merupakan daerah yang memiliki sumber daya potensial, bukan hanya dari sisi kekayaan alam tetapi juga dalam sisi kebudayaan. Kopi dibelitung bukan hanya menjadi komoditas yang mampu bersaing dengan kopi-kopi modern, tetapi menjadi budaya yang mengakar. Kopi dalam perkembangannya bisa menjelma menjadi ruang sosial tempat berkumpul dan berbagi cerita antar sesama atau dalam budaya belitung disebut dengan t “budaya berkeluh kesah”, “budaya ingin tahu” tentang kondisi sosial yang ada. Cara penyajiannya pun masih sangat unik, Air yang digunakan untuk menyeduh kopi dimasak menggunakan arang sehingga tercium bau gosong yang memberikan sensasi tersendiri bagi rasa kopi saat kita nikmati. Teko yang digunakan pun masih merupakan ketel tradisional yang telah digunakan sejak kedai kopi ini berdiri. Selain rasanya yang unggul, cara penyajian tradisional ini membuat kedai kopi di Belitung layak untuk dikunjungi.
Belitung juga memiliki ekowisata yang memiliki prospek yang menjanjikan apabila ditekuni dengan serius. Wisata batu mentas adalah pembelajaran penting dalam menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat harus bisa belajar bagaimana memanfaatkan peluang dari potensi yang ada, terkhusus dalam proses Menjaga alam sekaligus mendapatkan penghasilan pasti lebih menyenangkan daripada menghasilkan uang tetapi merusak hutan dan seisinya. Melalui kegigihan dan semangat berjejaring yang dimiliki oleh Budi (penggagas) untuk menggalang dukungan, Taman Wisata Batu Mentas dilirik oleh para wisatawan, baik daerah, nasional, maupun pelancong luar negeri. Dari sini orang-orang yang tadinya ragu mulai paham dan mendukung ide ekowisata yang menyuguhkan pemandangan yang asri dan beragam pelayanan dan fasilitas yang ada.
Pemberlajaran berharga didapatkan oleh masyarakat belitung dari kehadiran bukit peramun yang menjadi cara melestarikan lingkungan untuk menghindari bencana kekeringan. pada 2006, sekitar 200 sumber mata air di Belitung hilang karena aktivitas tambang yang secara aktif dilakukan oleh masyarakat desa. Karenanya, komunitas Bukit Peramun dibentuk untuk melestarikan hutan demi mencegah hilangnya dua belas sumber mata air yang ada di wilayah tersebut. Masyarakat disana menyadari, bahwa masalah utama yang akan dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di pulau kecil seperti Belitung di masa depan adalah ketersediaan air bersih. Bagi mereka, bekerja untuk mengelola lingkungan bukan soal menjadi kaya atau miskin—tapi soal menjaga perasaan mereka sendiri. Kebahagiaan yang mereka dapatkan tidak dapat diukur dengan kepemilikan materi. Namun, kebahagiaan didapat melalui keterlibatan mereka dalam menjaga alam. atas dasar tersebut mereka sadar bahwa bekerja ditambang adalah pekerjaan jahiliyah, mereka hari ini lebih memilih hidup sederhana namun dapat bergandengan dengan kelestarian alam. Pengelolaan bukit peramun mereka kelola secara kolektif, pada tahun-tahun awal mereka bahkan rela tidak mendapatkan gaji semuanya dialokasikan untuk operasional pengelolaan bukit peramun, semuanya kembali pada kesadaran mereka dalam untuk menjaga kelestarian alam.
Berbagai upaya kongkrit yang dilakukan oleh para pegiat untuk menjaga keberlanjutan bukit peramun adalah dengan cara, pertama, mereka terus melakukan sosialisasi pada masyarakat terkait pentingnya sektor pariwisata. Kedua, mereka mengajukan rekomendasi ke Bupati dan Wakil Bupati Kab. Belitung untuk mengeluarkan peraturan daerah yang mewajibkan semua operator wisata membawa turis mereka ke objek wisata berbasis komunitas sehingga mereka bisa lebih berkelanjutan. Ketiga, mereka mendukung adanya investasi dari pihak luar untuk membangun sektor pariwisata. Dengan upaya tersebut, bukit Peramun telah menunjukan bahwa teknologi dan keterbukaan terhadap investasi dapat sejalan dengan pembangunan pariwisata berbasis komunitas yang mengandalkan teknologi. Ide-ide yang muncul dari teknologi dan pembiayaan dari investor atau pemerintah dapat menjadi peluang bagi berbagai komunitas pariwisata untuk mengintegrasikan diri dengan perkembangan masyarakat yang semakin terintegrasi dengan dunia global. Identitas budaya, cara pandang, serta keterbukaan para pegiat Bukit Peramun menjadi modal yang kuat untuk mendukung kesiapan mereka berinteraksi dengan berbagai aktor di level lokal, nasional, maupun global.
Pembelajaran lain juga ada dalam pertambangan open pit, setelah aktivitas pertambangannya berhenti pada 1993 akibat harga timah yang mulai menurun, perusahaan meninggalkan lubang tambang yang terbengkalai dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dijadikan sebagai wisata edukasi yang memperkenalkan sejarah pertambangan di Belitung. Pemanfaatannya berhasil menarik perhatian wisatawan, banyak wisatawan yang tertarik untuk berkuntung karena cerita yang dikembangkan oleh open pit menarik karena dilekatkan dengan kondisis sosial budaya masyarakat yang ada disekitar sana. Hal tersebut mendongkrak perekonomian masyarakat, dimana masyarakat banyak merubah rumah-rumahnya menjadi Guest House untuk mengakomodir wisatawan yang ingin menginap, belum lagi hadirnya sajian makanan khas yang semakin mengenalkan budaya masyarakat belitung.
Kehadiran novel “laskar pelangi” yang kemudian diangkat menjadi sebuah film ternyata berhasil mengangkat eksistensi Belitung. Film yang menceritakan kisah 10 anak-anak yang bersekolah di SD Muhammadiyah Gantong tersebut mengajarkan arti penting kehidupan, persahabatan dan pendidikan. Cerita itu berawal pada 1974, dimana aktivitas pertambangan tersebut sangat memengaruhi gaya hidup masyarakat Belitung. Apalagi mayoritas penduduk di Pulau Belitung bekerja sebagai penambang timah. Selain itu, film ini juga mengulas tentang ketimpangan sosial di Belitung antara para pekerja tambang dan kuli-kuli tambang yang hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan anak-anak mereka tidak mampu bersekolah. Sementara, anak-anak dari golongan elite dan kaya dapat bersekolah di SD PN Timah dan memiliki kehidupan yang nyaman. Walaupun secara umum kondisi Belitung sudah banyak berubah, tetapi film ini tetap mengakar, memberikan banyak pesan moral kepada masyarakat agar lebih banyak belajar dari Belitung.
Dinamika Sosial Politik
Kebutuhan akan timah juga meningkat seiring dengan tingginya permintaan pasar internasional dan kebutuhan manusia akan teknologi. Berdasarkan data International Tin Association (lTA) terjadi peningkatan 3,2 persen konsumsi logam timah pada 2017 dibandingkan pada 2016. Peningkatan ini sebagian besar didorong oleh pertumbuhan industri elektronik. Pada 2015, tercatat total produksi timah dunia sebesar 339,54 Kton yang sekitar 20 persennya disuplai oleh Indonesia. Indonesia merupakan negara produsen timah terbesar di dunia setelah Cina. Timah dari Bangka dan Belitung sebagian besar beredar secara global, sedangkan timah yang ditambang dari Cina sebagian besar digunakan untuk keperluan domestik.
Ketergantungan terhadap timah sangat terlihat dari kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Bangka Belitung. Sekitar 20 persen dari total PAD Provinsi Bangka Belitung berasal dari pertambangan timah. Selain itu, saat ada moratotium penghentian ekspor timah, pertumbuhan ekonomi Provinsi Bangka Belitung langsung turun drastis dari 5,3 persen ke 2,6 persen. Ketergantungan terhadap timah membawa dampak negatif terhadap kerusakan lingkungan di Belitung. Misalnya, debu-debu kaolin yang dapat mengganggu pernafasan, deforestasi dan degradasi hutan, hingga banjir sebagai akibat dari partikel lumpur sisa tambang yang mempercepat sedimentasi di daerah aliran sungai.
Kerusakan lingkungan lain terlihat dari bekas tambang yang tidak direklamasi. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, hingga akhir 2019 tercatat ada 12.607 lubang tambang di lahan lebih dari 15.000 hektare. Dari 200.000- an hektare lahan kritis, reklamasi baru dilakukan di lahan seluas 2.200 hektare. Walhi Bangka Belitung menjelaskan bahwa proses pengangkutan timah menyebabkan 320.000 hektare lahan darat dan sejumlah wilayah pesisir menjadi lahan kritis. Tercatat dari bulan April hingga Agustus 2019, 24 warga meninggal dunia karena tenggelam dibekas galian lubang tambang. Selain itu, di dalam lubang tambang yang berisi genangan air, nyamuk malaria berkembang biak cepat dan menjadikan Bangka Belitung menjadi daerah endemik malaria.
Kondisi tersebut jelas membuat masyarakat dan pemerintah dilematis, disisi lain timah memberikan berkah pada peningkatan perekonomian secara signifikan, masyarakat mampu membeli barang-barang tersier dan didukung oleh listrik yang memadai. Selain itu, masyarakat yang berprofesi sebagai pekerja timah juga mendapat tempat tinggal yang sangat memadai. Namun disisi lain penambangan menyebabkan kerusakan lingkungan, tetapi sulit untuk dilepaskan karena permintaan global terhadap kebutuhan timah semakin meningkat seiring perkembangan teknologi dan revolusi industri karena menjadi bahan material yang tidak tergantikan sebagai bahan perangkat elektronik.
Kondisi tersebut menuntut pemerintah dan masyarakat untuk bisa bertindak dengan bijak. Harus ada keseimbangan dan pengendalian agar aktivitas pertambangan tidak mengorbankan lingkungan yang tentunya akan berdampak pada keberlanjutan hidup generasi mendatang. Pemerintah harus memiliki sustainability policy atau kebijakan keberlanjutan yang berfokus untuk menjaga keberlanjutan temporal dari tujuan ekonomi, lingkungan, dan keadilan sosial di seluruh skala spasial yang relevan. Keberlanjutan, dengan kata lain, adalah distribusi perhatian maupun urusan dari banyaknya agregasi kepentingan. Sedangkan masyarakat, harus memperkuat kontrol publik atas kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah. Kontrol publik memiliki peranan penting, selain berfungsi sebagai checks and balances, kontrol publik diharapkan dapat mewujudkan kebijakan yang menyehaterakan masyarakat.