Jaringan Ulama dan Pesantren sebagai Penentu Elektoral: Studi Kasus Kholilurrahman dalam Pilkada Pamekasan 2024
Politik lokal di Madura selalu menghadirkan dinamika khas yang sulit ditemui di daerah lain. Salah satu ciri paling menonjol adalah posisi sentral kiai sebagai figur karismatik yang dihormati karena wibawa, sikap kesopanan, dan otoritas moralnya. Dalam tradisi masyarakat Madura, seperti dicatat Syahidah (2022), kiai bukan hanya rujukan keagamaan, tetapi juga sumber nasihat dalam urusan keluarga, ekonomi, budaya, hingga politik. Karena itu, setiap kontestasi elektoral hampir pasti tidak dapat dilepaskan dari pengaruh jaringan ulama dan pesantren.
Pilkada Pamekasan 2024 kembali memperlihatkan pola yang sama. Kiai dan pesantren muncul sebagai aktor politik paling menentukan, bahkan sering kali lebih berpengaruh daripada mesin partai politik. Hal ini terlihat jelas dari kemenangan pasangan Kholilurrahman-Sukriyanto yang meraih 50,9 persen suara. Kholilurrahman sendiri merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Matsaratul Huda Panempan dan menjabat sebagai Mustasyar PCNU Pamekasan periode 2021–2026, sehingga posisinya dalam jejaring ulama sudah mapan secara genealogis maupun kultural.
Dalam masyarakat Madura, paradigma Bappa’-Babu’-Guruh-Ratoh masih memengaruhi pola pikir kolektif. Guru atau kiai berada pada posisi kedua setelah orang tua, dan menjadi figur dengan otoritas yang sangat kuat. Karena itu, seorang calon yang memiliki legitimasi kultural seperti Kholilurrahman berada pada posisi yang jauh lebih strategis, karena dianggap bagian dari struktur moral yang dihormati masyarakat.
Dukungan para ulama menjelang Pilkada 2024 memperkuat posisi tersebut. Dalam satu momentum, Achmad Syafii mantan Bupati Pamekasan menyampaikan dukungan kepada pasangan ini dalam forum alumni Pesantren Nurul Jadid di kediaman KH. Kholil Muhammad, Gunung Sari, Proppo. Dukungan serupa datang dari RKH. Moh. Faisol Abdul Hamid (Pengasuh Ponpes Bata-Bata), KH. Hasan Jauhari (Pengasuh Ponpes Al-Hasan), serta tokoh-tokoh besar Batu Ampar seperti KH. Amalul Yaqin dan KH. Imam Nawawi Kholil. Bahkan seorang pengusaha terpandang, Haji Her, turut memberikan dukungannya. Secara Actor-Network Theory (Latour), dukungan multiaktor ini membentuk jaringan stabil yang memperkuat daya mobilisasi politik Kholilurrahman.
Fenomena ini sesungguhnya mengukuhkan tesis klasik Clifford Geertz (1960) tentang peran kiai sebagai cultural broker, yakni jembatan antara nilai-nilai religius dan realitas sosial-politik. Dalam konteks kontemporer, kiai juga menjadi titik pertemuan antara kekuatan simbolik agama dan kepentingan ekonomi-politik. Pemilik modal ekonomi kerap memanfaatkan legitimasi kiai sebagai pintu masuk ke arena kekuasaan yang merupakan sebuah relasi patronase yang juga dibahas oleh Zamroni (2007). Inilah yang oleh teori Patron Client (James Scott) disebut sebagai hubungan pertukaran antara patron (kiai) yang memiliki modal moral, dan klien (masyarakat atau elite politik) yang memberikan dukungan elektoral.
Budaya lokal seperti “Ngireng Dhebu” semakin memperkuat jalur patronase tersebut. Budaya ini menggambarkan ketaatan penuh kepada tokoh religius, terutama kiai. Santri, alumni, keluarga santri, hingga masyarakat sekitar pesantren melihat kepatuhan sebagai jalan memperoleh barokah. Fauzi (2017) menjelaskan bahwa kepatuhan terhadap perintah kiai diyakini sebagai bagian dari proses memperoleh keberkahan dari ilmu yang telah dipelajari. Di sinilah teori Modal Sosial Bourdieu relevan, pesantren menjadi arena akumulasi modal sosial berupa kepercayaan, kehormatan, dan jaringan yang kemudian dapat dikonversi menjadi modal politik.
Kepercayaan tersebut tidak hanya tumbuh di kalangan santri aktif, tetapi juga di antara alumni dan masyarakat luas yang meyakini bahwa kiai memiliki kelebihan spiritual (Adi, 2018). Dalam konteks ini, penghormatan terhadap kiai bahkan dapat melampaui penghormatan terhadap kepala desa atau pejabat formal lainnya. Pengaruh kiai, baik yang terjun ke politik maupun yang tetap berada di dunia pendidikan pesantren, tetap sama kuatnya bagi masyarakat umum (Aman et al., 2023).
Kedudukan kiai sebagai elite lokal juga diperkuat oleh struktur sosial masyarakat santri yang tradisional, yang sering menunjukkan perilaku afektif terhadap figur-figur religius (Tanthowi, 2005). Kiai menjadi sumber legitimasi moral sekaligus legitimasi politik. Akibatnya, perbedaan pilihan politik antar-kiai dapat membingungkan masyarakat, karena masing-masing memiliki pengaruh elektoral yang signifikan. Secara empiris, basis dukungan kiai cenderung stabil dan militan, karena berakar pada tradisi penghormatan, kemuliaan, dan kepatuhan (Sufaidi et al., 2023; Madani, 2023).
Secara historis, keterlibatan kiai dalam politik bukan fenomena baru. Mulai dari masa kolonial hingga era reformasi, peran politik kiai terus berlanjut. Bahkan pascareformasi, keterlibatan mereka semakin eksplisit, baik secara langsung sebagai calon maupun sebagai penggerak utama tim pemenangan. Di banyak daerah, termasuk Pamekasan, dukungan seorang kiai sering menjadi faktor penentu kemenangan dalam pemilihan kepala daerah.
Kesimpulannya, dalam kultur sosial Madura, kiai adalah figur sentral dalam pembentukan nilai-nilai masyarakat. Posisi mereka dalam struktur social yang secara tradisional berada pada hierarki buppa’, babu’, guruh, ratoh membuat masyarakat sangat mengandalkan pandangan kiai dalam mengambil keputusan penting, termasuk pilihan politik. Hal ini menjadikan kiai sebagai mediator utama antara kandidat dan masyarakat. Karena itu, partai politik hampir selalu melakukan sowan kepada para ulama untuk memperoleh legitimasi elektoral.
Namun, dalam perkembangan terakhir, peran kiai tidak hanya sebagai penasehat atau pemberi restu. Banyak partai politik kini meminang kiai untuk turun langsung sebagai kandidat atau pejabat publik. Situasi ini menunjukkan konversi modal simbolik dan moral kiai menjadi modal politik, yang semakin mempertegas posisi penting pesantren dalam struktur kekuasaan lokal.
Pada akhirnya, Pilkada Pamekasan 2024 menunjukkan bahwa jaringan ulama dan pesantren tetap menjadi kekuatan elektoral yang paling menentukan. Selama modal sosial, modal simbolik, dan jaringan budaya pesantren tetap kuat, maka politik lokal di Madura akan terus berputar di sekitar orbit ulama entah sebagai patron, sebagai kandidat, atau sebagai pusat jaringan aktor politik yang tidak tergantikan.
Daftar Pustaka
Adi, M. (2018). Konstruksi Sosial Tokoh Masyarakat Madura Terhadap Kiai Yang Berpolitik Praktis (Studi Fenomenologi Di Kabupaten Bangkalan Madura) [Universitas Airlangga]. https://digilib.fisip.unair.ac.id/index.php?p=show_detail&id=368&keywords=
Ainun, Y., Muhammad, I., & Mubarok, A. R. (2024). Politik Tanpa Permusuhan, Achmad Syafii Dukungan Pasangan Kharisma. Times Indonesia. https://timesindonesia.co.id/politik/513074/politik-tanpa-permusuhan-achmad-syafii-dukungan-pasangan-kharisma
Aman, A., Aziz, A. A. A., & Syarifah, A. (2023). Figur Kiai di Madura Perspektif Teori Pemikiran Kekuasaan (Politik) Al-Ghazali. Jurnal Penelitian Ilmu Sosial Dan Keagamaan Islam, 20(2), 143–162. https://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/nuansa/article/view/8658
Fauzi, A. (2017). Persepsi Barakah di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong: Studi Interaksionalisme Simbolik. Al-Tahrir Jurnal Pemikiran Islam, 17(01), 105–132. https://doi.org/10.21154/altahrir.v17i1.848
Madani, A. A. (2023). Dinamika Politik Kyai Dalam Proses Demokratisasi Lokal Pada Pilkada Pamekasan. Dirosat: Journal of Islamis Studies, 8(1), 1–21. https://ejournal.unia.ac.id/index.php/dirosat/article/view/1293
Sufaidi, A., Putri, R. Y., & Budiono, S. T. (2023). Politik Perubahan Pola Perilaku Memilih Kaum Santri dalam Pemilu Daerah Serentak 2020 di Kabupaten Sumenep. POLITEIA: Jurnal Ilmu Politik, 151(2), 169–183.
Syahidah, J. A. (2022). Peran Kiai dalam Kontestasi Politik Lokal di Madura. Journal of Constitutional Law and Governance, 2(2), 213–225. https://doi.org/http://doi.org/10.19105/as-Shahifah
Syarifuddin, M., & Mansyur, M. (2024). Ngereng Dhebu : Tinjauan Konstruksi Sosial-Edukatif Di Lingkungan Alumni Pesantren Madura. Al-Riwayah: Jurnal Kependidikan, 16(April), 1–17. https://doi.org/https://doi.org/10.47945/al-riwayah.v16i1.1260
Zamroni, I. (2007). Juragan, Kiai dan Politik di Madura. Unisia, 30(65), 264–276. https://doi.org/https://doi.org/10.20885/unisia.vol30.iss65.art5