Negara Kuat di Korporasi, Lemah di Mafia

 Negara Kuat di Korporasi, Lemah di Mafia

Sumber: radius.com

Runtuhnya PT Gudang Garam Tbk pada 2025 bukan hanya berita bisnis. Ia adalah cerita politik-ekonomi tentang bagaimana negara, korporasi, dan mafia lokal berkelindan, sementara buruh dan masyarakat kecil menjadi korban utama.

Secara ekonomi, angka-angka memang berbicara lantang. Laba bersih Gudang Garam semester I 2025 hanya Rp117,1 miliar, anjlok 87,3% dari periode sama 2024 (Rp925,5 miliar). Pendapatan turun menjadi Rp44,3 triliun dari Rp50 triliun. Padahal, satu dekade lalu, perusahaan ini masih mampu meraih laba Rp6,4 triliun. Di sisi utang, beban liabilitas per Juni 2025 mencapai Rp18,73 triliun, dengan porsi terbesar berupa utang cukai, PPN, dan pajak rokok sebesar Rp8,84 triliun.

Beban itu segera merembet pada tenaga kerja. Pada September 2025, Gudang Garam melepas 309 pekerja melalui mekanisme pensiun normal dan dini. Jumlah ini kecil jika dibandingkan total pekerja 30.308 orang pada akhir 2024, tetapi cukup untuk memunculkan kekhawatiran tentang gelombang PHK berikutnya.

Ironinya, di tengah keterpurukan ini, kontribusi Gudang Garam terhadap negara tidak kecil. Dari 2019 hingga 2021, perusahaan menyetor Rp238 triliun dalam bentuk cukai, ditambah Rp50,7 triliun hingga pertengahan 2022. Jawa Timur sebagai basis industri tembakau bahkan menyumbang lebih dari Rp129 triliun pada 2023, atau 60% dari total penerimaan cukai nasional. Artinya, negara selama ini begitu bergantung pada industri rokok, tetapi justru menekan industrinya dengan kenaikan tarif cukai beruntun.

Di titik ini, kita melihat wajah lain dari politik cukai yakni rokok ilegal. Hingga Juni 2025, Bea Cukai mencatat 13.248 kasus penindakan dengan nilai barang Rp3,9 triliun, dan 61% di antaranya adalah rokok ilegal. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp97,81 triliun pada 2024. Jadi, ketika korporasi besar seperti Gudang Garam terhimpit, justru mafia rokok ilegal tumbuh subur.

Madura sering dijadikan contoh paling gamblang mengenai keterhubungan antara ekonomi informal dan politik lokal. Sejumlah pengusaha yang bergerak di sektor perdagangan hasil tembakau tanpa cukai tidak hanya menjalankan bisnis, tetapi juga aktif dalam arena politik praktis. Jejaring patronase yang terbentuk menjadikan aktivitas tersebut relatif sulit disentuh oleh aparat penegak hukum. Di sini tampak jelas, kebijakan cukai bukan sekadar soal fiskal, tetapi juga soal siapa yang punya kuasa untuk menghindarinya.

Kasus Gudang Garam memperlihatkan paradoks politik-ekonomi, negara tegas pada industri legal yang selama ini menyumbang ratusan triliun, tetapi tumpul menghadapi mafia rokok ilegal yang jelas merugikan negara. Buruh menjadi pihak paling rentan karena akan kehilangan pekerjaan, tanpa perlindungan, dan tanpa daya tawar. Negara seolah absen, hanya hadir sebagai pemungut cukai, bukan sebagai pelindung masyarakat pekerja.

Jika pola ini terus dibiarkan, runtuhnya Gudang Garam bisa jadi hanya pembuka. Deretan pabrik lain berpotensi menyusul, sementara pasar gelap makin menguasai jalanan, dan mafia lokal memperkuat pengaruh politiknya.

Bagikan yuk

Ifanul Abidin

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *