Selamat Tinggal Realitas Selamat Datang Mitos

 Selamat Tinggal Realitas Selamat Datang Mitos

Aksi demonstrasi yang dimotori para mahasiswa dari berbagai kampus, para buruh, dan sejumlah elemen masyarakat lain menolak UU Cipta kerja menjadi fenomena yang hangat dibicarakan baik di media mainstream ataupun sosial media. Jika kita mencermati secara seksama, kita akan mendapati aneka narasi yang mencoba memberikan interpretasi atas aksi demonstrasi tersebut. Salah satu narasi narasi yang berkembang menyatakan bahwa sebenarnya para demonstran turun ke jalan akibat terprovokasi oleh “hoax” terkait UU Cipta Kerja tersebut. Narasi ini semakin menguat ketika demonstrasi berakhir dengan kericuhan di sejumlah tempat. Tercatat terjadi sejumlah aksi vandalisme, pengrusakan dan pembakaran fasilitas publik di sejumlah lokasi terjadinya demonstrasi. Dengan cepat image bahwa demonstran adalah sosok yang begitu negatif dengan cepat terbentuk. Sebagai contoh mereka dipersepsikan sebagai orang yang “tidak mau membaca”, “mudah terpovokasi”, dan juga “cenderung anarkis”.

Walaupun aparat keamanan dan juga pemerintah dalam sejumlah pernyataan resminya menyatakan bahwa ada kalangan yang berupaya menunggangi aksi tersebut -misalnya dikatakan sebagai kelompok anarko-, namun image buruk yang melekat kepada demonstran tidak hilang begitu saja. Bahkan dapat dikatakan posisi para demonstran tersebut semakin terpojokkan. Alasannya Kembali lagi kepada karena para demonstran mudah “termakan hoax” itulah yang kemudian menyebabkan para demonstran -sadar aatu tidak- ditunggangi oleh para penyusup yang berupaya mengambil kesempatan dengan munculnya demonstrasi besar-besaran tersebut untuk kepentingannya sendiri.

Tulisan ini  tidak akan membahas soal detail tentang demonstrasi itu sendiri, termasuk mengenai terjadinya aksi pembakaran dan perusakan fasilitas publik yang hingga tulisan ini ditulis masih belum jelas siapa yang melakukan. Apakah dari pihak demonstran misalnya ataupun pihak-pihak lain yang berupaya mengambil kesempatan dengan adanya demonstrasi tersebut. Tentu saja perusakan dan pembakaran fasilitas publik merupakan tindakan yang justru kontraproduktif dari isu yang ingin disuarakan oleh para demonstran dan justru semakin menimbulkan antipasti luas terhadap gerakan tersebut.  Lepas dari kontroversi di seputar detail tentang aksi demonstrasi tersebut, tulisan ini akan mencoba untuk menitikberatkan pada telaah terhadap narasi besar yang dapat muncul tersebut dimana memposisikan demonstran sebagai “korban hoax”. Narasi semacam ini dapat dikatakan sebagai sebuah framing dalam memahami/menginterpretasikan realitas yang bisa diuji kebenaranya secara lebih lanjut. Pertanyaan penting yang mesti kita ajukan kembali ialah apakah benar bahwasanya munculnya demonstrasi itu akibat “hoax” dan juga karena “tidak mau membaca” draf final RUU Cipta Kerja sehingga para demonstran tersebut layak mendapatkan label yang negatif?

Dikarenakan narasi tersebut berpusat pada konsep hoax dan juga realitas -sebagai lawan dari hoax– maka kita mesti menggeser pembicaraan pada isu post-truth sebagai satu konteks besar dimana memungkinkan hoax dapat tersebar dengan mudah dan dengan cepat diterima sebagai kebenaran oleh publik secara luas. Istilah post-truth sendiri jika mengacu pada definisi Oxford Dictionary mengisyaratkan kecenderungan/ tren kontemporer dimana opini publik tidak lagi dibentuk berdasarkan fakta obyektif tetapi mengacu pada personal belief dan juga emosi. Gambaran tentang nuansa post-truth ini dapat dikatakan menjadi spirit dari narasi yang mendiskreditkan para demonstran. Dimana demonstran dianggap sebagai sosok yang bertindak berdasarkan “emosi” belaka tanpa mengindahkan fakta obyektif. Akan tetapi jika kita mencermati secara kritis konsepsi post-truth ini justru dapat digunakan untuk menginterogasi narasi yang menyudutkan demonstran itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan dalam definisi Oxford Dictionary bahwa ciri penting dari post-truth adalah fakta obyektif yang tidak lagi menentukan terbentuknya opini public. Pertanyaannya jika memang demonstran dikatakan “termakan hoax” dan bertindak berdasarkan “emosinya” belaka maka mesti dibuktikan satu fakta obyektif yang sekiranya menegasikan “hoax” tersebut. Sebagai contoh mudah, selama terjadinya pandemic ada satu narasi yang menyatakan Covid-19 dihasilkan dari sebuah laboratorium China. Dapat dikatakan narasi tersebut tidak dibangun atas fakta obyektif karena kita dapat mengecek laboratorium apa yang dimaksud dalam narasi tersebut yang ternyata berlokasi di Hong Kong misalnya dan bukan di Wuhan. Artinya untuk mendeteksi hoax atau narasi yang sifatnya simpang siur semacam itu diperlukan satu akses kepada realitas/fakta obyektif itu sendiri.

Persoalannya dalam kasus demonstrasi menolak pengesahan UU Cipta kerja dapatkah kita melakukan proses verifikasi pada realitas/fakta obyektif tersebut? Dapat dikatakan hal ini sulit untuk dilakukan. Hal ini tidak berlebihan sebab mengacu pada pemberitaan sejumlah media sendiri yang menukil ucapan dari anggota DPR sendiri seperti Firman Soebagyo dan juga Achmad Baidowi yang mengakui bahwa DPR masih merampungkan sejumlah perbaikan terkait naskah UU Cipta kerja tersebut sebelum kemudian akan diserahkan kepada Presiden. Walaupun Baidowi memberikan penegaskan bahwa tidak ada perubahan terkait hal substansial. Perubahan hanya berkaitan dengan soal “redaksional” saja.

Tentu kita dapat berdebat panjang soal “yang substansial” dan yang “redaksional” karena dalam kajian ilmu politik misalnya justru seringkali dalam hal-hal yang terkesan “teknis” misalnya justru tersembunyi hal-hal yang “substansial” itu sendiri. Hal ini misalnya juga telah disuarakan oleh Lucius Karus -peneliti dari Formappi- yang diwawancarai oleh Kompas misalnya dalam rangka menanggapi pernyataan anggota DPR tentang belum adanya “naskah final” dari UU tersebut. Lucius Karus -peneliti dari Formappi- secara tegas menyebutkan bahwa dirinya mencemaskan bahwa dimungkinkan perubahan yang sifatnya substansial dalam proses “finalisasi” naskah tersebut. Lepas dari “perubahan” seperti apa yang potensial terjadi naskah, namun satu hal yang mestinya dapat kita pegang adalah bahwa pengakuan dari DPR bahwa belum ada “naskah final” bahkan hingga UU tersebut disahkan secara resmi.

Dari pengakuan tersebut maka kita bisa mempersoalkan narasi yang cenderung mendiskreditkan para demonstran tersebut. Dinana ternyata fakta obyektif yang dimaksud tidak eksis hingga saat ini (karena naskah yang dimaksud masih dalam tahap finalisasi).

Ketiadaan fakta obyektif yang dapat dirujuk dalam fenomena ini dapat menjadi bukti bahwa ada problem pada narasi yang menyudutkan para demonstran tersebut. Apa yang terjadi bukanlah fenomena post-truth tetapi justru adanya problem krusial pada formulasi UU itu sendiri yang jika meminjam istilah Kuntowijoyo berada dalam konteks ruang tradisi mitos yang besar dan bukan logos (realitas). Mitos sendiri memang seringkali dicirikan dengan “ketidakjelasan” daripada “kejelasan”.

Sebagai contoh jika kita mencermati mitos-mitos tentang suatu peristiwa atau kisah seorang tokoh tertentu misalnya kita seringkali mendapatkan satu gambaran yang bisa jadi kabur atau bertolak belakang satu sama lain. Termasuk adanya pluralitas wacana yang sangat beragam dan sulit untuk memverifikasi mana yang benar -dan dalam logika mitos sebenarnya verifikasi itu bukan suatu hal yang penting karena justru cenderung merayakan ketidakstabilan wacana itu sendiri-.

Sebagaimana mitos-mitos tersebut, apa yang terjadi dalam konteks pembahasan RUU Cipta kerja ini dapat dikatakan juga diliputi ketidakjelasan bahkan saat palu sudah diketok menandai disahkannya RUU tersebut menjadi UU. Dengan kata lain yang eksis bukanlah fakta obyektif tetapi aneka mitos yang memang berciri “ketidakjelasan” tersebut.

Kondisi mitos ini bertolak belakang dengan realitas (logos) yang bercirikan pada “kejelasan”. Salah satu bentuk kejelasan salah satunya dapat dilacak dengan adanya tulisan. Jika merujuk pada Derrida kita bisa memahami posisi “strategis” tulisan dalam konteks politik kontemporer. Berbeda dengan tuturan yang bisa diralat setiap saat -karena tuturan secara natural tidak dapat dipisahkan dari penutur-, justru dalam tulisan maka terbuka peluang sangat lebar bagi siapa saja untuk “menginterogasi” sang penulis. Hal ini tidak berlebihan mengingat melalui tulisan kita dapat melihat bagaimana penulis membangun argumennya termasuk bagaimana sang penulis dalam itu berfikir.

Kestabilan teks tanpa dapat “diralat” dengan mudah oleh penulis inilah yang kemudian memungkinkan keterlibatan publik dapat dibangun secara hakiki. Singkatnya, eksistensi tulisan menjadi krusial dalam konteks tradisi logos tersebut terlebih dalam konteks alam demokrasi saat ini yang spiritnya adalah dialog deliberatif yang mengandaikan keterlibatan aktif warga. Tanpa adanya satu tulisan untuk menjadi satu bahan dialog maka bagaimana mengharapkan terjadi proses deliberatif?

Pertanyaan lebih lanjut adalah adakah eksistensi tulisan yang independen dari anggota DPR sebagai penulis naskah ini dalam konteks Omnibus Law Cipta Kerja? Mestinya jika merujuk pada tradisi logos dan bukan mitos, maka sedari awal draf naskah RUU tersebut dihadirkan di ruang publik secara terbuka berikut update perubahan-perubahan yang terjadi selama proses legislasi tersebut. Melalui tulisan yang independen itulah publik bisa terlibat aktif mengawal proses formulasi RUU Cipta Kerja tersebut secara intens.

Namun, problemnya justru terletak pada ketiadaan tulisan/ teks sejak awal pembahasan RUU Cipta Kerja selama ini. Kalaulah ada teks yang tersebar di publik dapat dikatakan teks tersebut dalah teks yang masih dibangun diatas logika tuturan (lisan) dan bukan tulisan sehingga tidak bisa diverifikasi lebih lanjut karena masih ada kelekatan kuat dengan sang penulis (anggota DPR yang terlibat pembahasan). Bahkan uniknya hingga RUU tersebut disahkan, satu teks yang “independen” terkait UU Cipta Kerja belum juga tersedia secara terbuka bagi publik.

Kita bisa memberikan contoh mengenai ketiadaan teks yang “independen” ini msialnya justru dari sebuah teks (buku saku berjudul “Meluruskan Hoax RUU Cipta Kerja”) yang berisikan bantahan terhadap aneka “hoax” yang beredar di tengah publik. Meskipun sejumlah pembahasan dalam buku saku tersebut merujuk pada sejumlah penjelasan dalam “draf final” yang diketok oleh DPR tetapi keberadaan “draf final” yang diklaim menjadi rujukan buku saku tersebut dalam membantah “hoax” yang tersebar tidak bisa diakses hingga kini. Sehingga dapat dikatakan buku saku tersebut sejatinya tidak merujuk pada satu “fakta obyektif”, dalam hal ini tulisan final yang dapat diakses semua orang. Dengan kata lain yang sebenarnya menjadi rujukan dari buku saku tersebut, kalau dikatakan “draf naskah final”, tetapi sesungguhnya merujuk pada “naskah final” yang masih berada pada mind (pikiran) para anggota DPR yang membahas RUU tersebut. Jika ini yang terjadi, tentunya menjadi sangat sulit untuk memverifikasi sesuatu yang sifatnya masih di dalam mind. Satu-satunya cara untuk mengeceknya ialah melalui tuturan dari para anggota DPR. Jika ini yang terjadi maka apa yang terjadi adalah penguatan tradisi tuturan yang memang menjadi bagian penting dalam tradisi mitos bukan logos (realitas).

Dalam nuansa mitos yang kuat semacam ini maka ketika misalnya muncul demonstrasi maka sejatinya dapat dimaknai sebagai “konsekuensi natural” dari nuansa mitos yang sangat kuat di seputar kontroversi Omnibus Law Cipta Kerja tersebut. Sebagaimana misalnya adanya berbagai kuburan orang suci yang sama di berbagai wilayah yang berbeda adalah contoh implikasi dari tradisi mitos tersebut. Karena mitos memang tidak berorientasi pada verifikasi tentang mana narasi yang sahih dan mana yang bukan dan cenderung “apresiatif” terhadap pluralitas makna maka tidak menjadi masalah setiap komunitas yang memiliki narasi tersendiri tentang riwayat hidup orang suci tersebut termasuk mengenai dimana ia meninggal. Jika  kemudian secara natural masyarakat sekitar bergerak untuk membangun makam misalnya sebagai bentuk penghormatan terhadap orang suci tersebut maka itu adalah hal yang wajar. Begitu pula komunitas lain yang juga memiliki narasi lain juga melakukan hal yang sama. Artinya ekspresi yang beragam tersebut adalah suatu fenomena yang wajar sebagai konsekuensi dari “ketidakjelasan” tentang satu narasi kehidupan seorang tokoh suci.

Pendekatan yang sama mestinya juga kita aplikasikan ketika membaca kontroversi di sekitar Omnibus Law Cipta kerja ini yang juga “kental” nuansa “mitosnya”. Dengan cara baca ini maka muncunya aksi demonstrasi dapat dimaknai sebagai sebuah hal yang “natural” sebagai  konsekuensi dari “ketidakjelasan” dan juga “pluralitas makna” akan isi dari Ombinus Law Cipta kerja tersebut.

Eksistensi para demonstran juga dapat dipahami sebagai pihak yang bergerak beradasarkan interprteasinya akan salah satu “varian” dari “naskah final” RUU Cipta Kerja. Interpretasi tersebut itulah yang kemudian menjadi landasan mereka untuk membangun aliansi dan turun ke jalan.

Jika dikembalikan kepada kritik terhadap narasi yang cenderung memojokkan demonstran sebagai pihak yang “belum membaca” maka dapat dikatakan kritik tersebut cenderung lemah karena tidak menempatkan munculnya demonstrasi dalam konteks yang lebih besar -yakni kencederungan mitos yang kuat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja-. Misal bisa kita katakan bahwa demonstran “sudah membaca” salah satu “varian” dari aneka “varian” teks yang tersebar di publik.

Dan perlu diingat pula bahwa dalam tradisi mitos ini sulit untuk menetapkan konsep “hoax” mengingat tidak ada satu rujukan teks yang “stabil” dan “independen” yang dapat diposisikan sebaagi fakta obyektif. Maka narasi yang seharusnya coba didorong jika menganggap bahwa munculnya demonstrasi semacam itu adalah keliru adalah bagaimana agar transformasi dari tradisi mitos ke logos dalam perpolitikan kita dapat didorong sedemikian rupa. Dimana jika merujuk pada bahasa Kuntowijoyo adalah kita mesti menyambut datangnya realitas dan menyatakan selamat tinggal pada mitos. Bukannya malah terbalik dimana yang terjadi kita justru menyambut datangnya mitos dan menyatakan selamat tinggal pada realitas sehingga pada akhirnya realitas politik kita dipenuhi “ketidakjelasan”. Hal ini tidaklah berlebihan, dimana sejumlah akademisi yang melakukan telaah kritis terhadap kondisi demokrasi kita dari waktu ke waktu semacam Mietzner, Power, Warburton, Aspinall misalnya mengakui kecenderungan pergeseran ke arah “mitos” tersebut walau dengan menggunakan istilah yang berbeda misal dengan istilah regression of democracy.

Sebagai penutup, untuk mendorong demokrasi kita bergerak ke arah logos maka kita dapat kembali kepada penjelasan Derrida soal posisi strategis tulisan. Derrida memberikan penjelasan yang menarik bahwa bahwa tulisan itu “berbahaya” dalam arti karena ia mampu “mengkhianati” sang pengarang itu sendiri. Hal ini wajar mengingat karena independensi tulisan dari pengarang memungkinkan tulisan tersebut dapat dikritisi sedemikian rupa oleh publik tanpa sang pengarang dapat dengan mudah meralat apa yang telah ia tulis -bahkan termasuk tanpa kehadiran sang pengarang itu sendiri-. Maka kemudian Derrida menyimpulkan bahwa orang cenderung menghindari menulis karena “alergi kritik”. Namun justru sikap “alergi kritik” inilah yang bertentangan dengan spirit demokrasi. Dimana demokrasi justru berupaya mendorong keterlibatan publik yang besar melalui dialog yang sehat dalam ruang public. Maka eksistensi tulisan yang dapat diakses secara terbuka oleh publik, terlebih dalam konteks pembuatan RUU yang kontroversial, menjadi satu prasyarat yang tidak dapat ditawar sebagai cara untuk memperbaiki mutu demokrasi kita.

Bahkan bisa kita katakan bahwa melalui pengarusutamaan tradisi menulis dan bukannya tuturan dalam proses pembuatan kebijakan maka akan semakin “menyehatkan” demokrasi kita dengan memberikan “imunitas” tambahan dari kemungkinan aneka hoax yang potensial untuk muncul di tengah masyarakat. Hal ini tidak berlebihan mengingat dengan adanya tulisan yang “independen” maka fakta obyektif menjadi eksis sehingga konsep hoax dapat dimunculkan. Berbeda dengan ketiadaan tulisan yang memberi jalan yang mudah bagi munculnya aneka macam hoax di tengah masyarakat karena secara default justru menghapus eksistensi fakta/realita obyektif dimana kita dapat bersandar dengannya.

Bagikan yuk

Nuruddin Al Akbar