Ulasan Buku Keluar Dari Kemelut

 Ulasan Buku Keluar Dari Kemelut

Ini buku lain Schumacher. Tak kalah bagus dibanding bukunya berjudul Kecil itu Indah. Schumacher adalah ilmuwan yang menganggap ilmu pengetahuan harus membahagiakan. Apalah arti sains tanpa kebahagiaan. Buku ini menegaskan cita-cita fundamental Schumacher. Yaitu setiap ilmu pengetahuan harus berguna praktis.

Ilmu pengetahuan haruslah menunjang kebahagiaan. Utamanya membantu manusia menemukan makna hidup. Bukan malah menyesatkan. Apalagi membawa manusia tersesat. Lebih lagi memperosokkan manusia ke dalam kemelut tiada akhir.

Jadi Schumacher menulis cara keluar dari kemelut. Manusia modern menurutnya adalah spesies yang muram. Manusia harusnya hidup penuh gairah berkat sains dan teknologi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Manusia yang mengagumi sains justru hidup tanpa makna.

Buku ini ditulis tahun 1977. Cukup jauh dengan zaman kita sekarang. Artinya ada gagasan dalam buku ini yang sudah lumrah diterima. Tapi jelas masih ada diskusi yang menarik diulas.

Dalam buku ini Schumacher menawarkan cara bernalar yang waras. Jadi ia pertama-tama membongkar sesat pikir empirisme dan saintisme. Agak aneh. Schumacher sendiri adalah ilmuwan. Harusnya ia membela empirisme. Suatu cara penalaran berbasis bukti yang teramati dan teruji. Harusnya pula ia membela saintisme. Suatu gagasan tentang kekuatan adiluhung penalaran logis manusia.

Tapi Schumacher mempreteli empirisme dan saintisme. Terjadi sepanjang buku ini. Schumacher bahkan tak percaya mengapa manusia modern antusias dengan kebimbangan, keraguan dan ketakpastian. Semuanya itu adalah bahan bakar ilmu pengetahuan modern. Kita kenal dengan istilah skeptisisme.

Schumacher tak mengolok-olok sains. Ia sungguh percaya bahwa ilmu pengetahuan adalah rahmat bagi umat manusia. Ia mendedikasikan hidupnya sebagai ilmuwan. Tapi sains itu sarana. Bukan tujuan.

Menurutnya masalah sains bukan pada universalitas. Tapi pada kehendak ilmuwan. Kebanyakan ilmuwan menuntut kebenaran total. Dan tuntutan itu dibebankan pada sains. Padahal sains adalah alat mengenali dunia. Kebenaran tentang tujuan hidup ada di sisi lain. Separuhnya di dunia batin manusia.

Tapi manusia modern terlanjur ada di kemelut. Manusia menganggap cara mengenali dunia itu adalah kenyataan paling penting. Padahal, itu hanya satu dari Empat Kebenaran Besar.

Buku ini menjelaskan apa Empat Kebenaran Besar itu. Empat Kebenaran Besar itu ibarat situs pada peta. Ada empat situs penting. Pertama adalah dunia secara keseluruhan. Kedua adalah manusia dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Ketiga adalah bidang-bidang pengetahuan. Keempat adalah makna hidup.

Supaya seseorang tak terjebak kemelut. Mereka butuh peta pikiran dengan Empat Kebenaran Besar itu. Tak mungkin dipisahkan. Satu dengan yang lain saling mengisi.

Sumbangan Schumacher adalah konsep Empat Kebenaran Besar. Tawaran Schumacher adalah jembatan. Supaya tak perlu lagi ada pembedaan antara sains dan metafisika. Supaya ada tawaran beda tentang pertentangan antara ilmu pengetahuan dan khazanah hidup tradisional.

Tawaran Schumacher menarik karena tak ada dikotomi sekularisme. Schumacher murni melihat problem pemikiran modern ada pada ketakseimbangan. Jadi tak melulu perkara antagonisme pengetahuan modern dan tradisional.

Cuma saya yakin banyak pembaca penasaran. Apa maksud Schumacher dengan makna hidup. Ada perumpamaan jenaka dari Schumacher.

Ketika seseorang minta nasihat supaya hidup selamat dan bahagia. Si penerima pertanyaan akan menjawab bahwa keselamatan dan kebahagiaan itu cuma konsep. Hanya angan-angan tak masuk akal. Cuma trik psikologis untuk sembunyi dari ketertindasan.

Sekian lama orang belajar supaya pandai. Akhirnya mereka hanya diberitahu bahwa keselamatan dan kebahagiaan itu cuma omong kosong. Hanya bualan. Tidak perlu dicari. Karena sia-sia. Tak ada jawabannya.

Padahal orang butuh makna hidup. Karena itu menuntaskan dahaga dan lapar setelah seseorang menjalani hidup puluhan tahun.

Dan saintisme apalagi empirisme justru menyodorkan jawaban yang tak mengganjal lapar dan dahaga. Ini mirip dengan orang minta roti tapi malah dikasih batu.

 

Bagikan yuk

Fauzan A Sandiah