Selamat Jalan Luis Sepulveda (1949-2020)
Sebagai pembaca amatir sastra Amerika Latin, nama Luis Sepulveda adalah penemuan yang tidak pernah aku duga. Novel terjemahan “Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta” adalah satu dari sekian karya sastra yang entah sudah berapa kali aku hadiahkan dan rekomendasikan ke kawan dekat. Ini novel pendek yang mengesankan.
Waktu pertama kali kenalan dengan calon istri juga, novel inilah yang aku minta dia baca pertama kali. Kami kemudian ngobrolin isi novel itu di perpustakaan. Dia ketawa karena adegan pembuka novel ini, ketika dr. Loachim sedang mencopot gigi salah seorang penduduk El Idilio. Kutipan yang bikin dia ketawa adalah ketika si dokter menanggapi pasien yang kelihatannya protes karena kesakitan. Si dokter tenang saja dan berkata, “Tenang idiot! lepaskan tanganmu! Aku tahu sakit memang. Salah siapa? Ayo! Salahkukah? Bukan! Pemerintah! Camkan dalam batok kepalamu yang tebal itu. Salah pemerintah kalau gigimu bolong. Salah pemerintah kalau kau sakit gigi.”
Bagian pembuka ini, tentu adalah awalan yang mengesankan. Tapi bukan satu-satunya adegan yang akan membuat pembaca ketawa.
Novel ini berkisah tentang pria tua bernama Antonio Jose Bolivar. Pria tua ini pembaca militan novel-novel cinta yang “menjamin duka lara paling puncak”. Nah, si dr. Loachim itu adalah orang penting yang selama ini memasok novel-novel cinta untuk pak tua.
Banyak orang yang menanggapi isi novel “Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta” ini sekedar kisah tentang seorang kakek tua yang merasakan rahmat kemampuan membaca. Kalau dibaca seksama, ini bukan tentang militansi membaca si pak tua.
Tahun 2016, ketika aku menyelesaikan riset tesis mengenai pendidikan ekologi, aku mengutip potongan pendek kalimat dari novel ini, “Bunyi sungai, hujan, dan gerak hewan menjadi penghubung satu-satunya dengan semesta” (hlm. 102).
Ini adalah novel “ekologis” radikal yang pernah aku nikmati. Setidaknya juga bersama dengan novel Mario Vargas Llosa berjudul “Sang Pengoceh”.
Kalau anda penikmat sastra, dengan segera anda akan menyadari satu inovasi penting novel ini. Perhatikan kutipan adegan berikut:
“Di atas sana hewan itu tidak memalingkan mata darinya. Mendadak dia mengaum penuh sedih dan letih, lalu bangkit di atas cakarnya”
“Inikah yang kau mau? Kau ingin aku menyudahi deritanya? tanya pak tua itu berteriak ke arah lereng, namun si betina sembunyi di balik tetumbuhan. Ia mendekati si jantan yang terluka itu dan memegang kepalanya. Hewan itu mengangkat kelopak matanya dengan lemas, dan saat pak tua itu dengan hati-hati memeriksa lukanya, ia lihat semut-semut sudah mulai menggerogotinya. Ia taruh dua laras di dadanya. ‘Maaf kawan. Bule brengsek itu membuat hidup kita semua serba salah’. Lalu ia menembak.”
Novel ini berisi kisah tentang balas dendam macan kumbang betina yang menggemparkan kehidupan rimba Ekuador. Orang-orang panik, karena si macan mulai mengincar manusia. Awalnya, si macan mengincar para penambang emas dan pemburu hewan karena menembak pasangan jantannya. Sampai akhirnya mulai mengincar penduduk lain yang sama sekali tidak terkait dengan penembakan.
Si pak tua, yang menikmati hidupnya dari kearifan hidup hutan dan buku-buku roman paling galau adalah satu-satunya orang yang bisa “berhadapan” dengan si macan kumbang yang frustasi. Petikan isi novel yang aku kutip sebelumnya adalah adegan klimaks.
Bagaimana adegan bergelut pak tua dengan si macan betina, dan bagamana pak tua “diminta” mengakhiri penderitaan macan jantan dengan menembaknya, adalah rangkuman penderitaan yang tidak pernah diceritakan oleh sejarah. Inilah yang aku bilang sebagai “inovasi” Sepulveda. Apakah akan ada penulis yang mampu menulis sesuatu yang bukan “sejarah”? Menulis dari kepedihan yang tidak pernah dikenal?
Kita biasa membaca kisah-kisah pilu. Tapi semua kisah pilu itu adalah kisah sejarah. Kita jarang menemukan penulis yang menulis dari “kehidupan tanpa sejarah”. Menulis tentang sesuatu yang dilupakan oleh masyarakatnya sendiri. Ketika membaca novel ini, aku sadar, bahwa pertentangan wacana kita, semuanya berisi tentang pertentangan sejarah.
Bagaimana dengan orang-orang dan alam yang tanpa sejarah? Tidak ada yang peduli pada orang-orang yang hidup bergenerasi-generasi di dalam hutan yang tiba-tiba harus migrasi makin ke dalam hutan karena eksplorasi tambang. Tidak ada yang peduli amat dengan perasaan mereka. Tidak ada yang peduli dengan ekosistem hidup kawanan hewan di sana.
Jarang ada penulis yang menulis tentang kisah-kisah “tanpa sejarah”. Kebanyakan penulis menulis suatu kisah karena para novelis Eropa pernah menuliskannya.
Sedih rasanya tahu kabar Luis Sepulveda meninggal karena virus corona. Selamat jalan pak. Baik-baiklah di sana.
*Janturan, 16 April 2020
Di kampung yang masih karantina mandiri