SALAH TAFSIR PERMASALAHAN DI DESA

 SALAH TAFSIR PERMASALAHAN DI DESA

Jabatan Kepala Desa dahulunya bukan merupakan jabatan eksekutif yang prestisius dibandingkan dengan jabatan eksekutif lainnya. Namun, jabatan Kepala Desa inilah yang sebenarnya memiliki peran penting dalam proses pensejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan struktur kelembagaan Pemerintahan Desa yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Terlebih setelah lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) yang mengamanahkan bahwasanya Desa berhak menerima dana perimbangan yang bersumber dari APBD maupun APBN. Artinya Kepala Desa merupaka unsur terdepan dalam pengelolaan anggaran yang bertujuan untuk mewujudkan usaha-usaha mensejahterakan masyarakat.

Oleh karenannya UU Desa telah memberikan keistimewaan lebih kepada Kepala Desa terkait dengan masa jabatan. Pada pasal 31 menyebutkan bahwasanya masa jabatan dari Kepala Desa selama enam tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak tiga kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Artinya untuk memaksimalkan proses pensejahteraan masyarakat Kepala Desa memiliki kesempatan selama 18 tahun untuk menjabat. Berbeda dengan jabatan eksekutif lainnya seperti Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden yang hanya memiliki masa jabatan selama lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali sebanyak dua kali atau selama 10 tahun. Waktu yang sangat cukup untuk dapat mewujudkan masyarakat desa yang sejahtera. Selain itu hal ini juga baik untuk kaderisasi calon Kepala Desa selanjutnya, karena tidak menimbulkan jarak terlalu jauh pada transisi kepemimpinan.

Polemik Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa

Beberapa hari lalu para Kepala Desa dari seluruh pelosok tanah air melakukan demonstrasi untuk menuntut revisi UU Desa. Salah satu poin revisi UU Desa tersbut adalah perpanjangan masa jabatan Kepala Desa yang sebelumnya enam tahun menjadi Sembilan tahun dan tetap dapat dipilih sebanyak tiga kali. Artinya Kepala Desa dapat menjabat selama 27 tahun. Alasan tuntutan tersebut karena enam tahun dirasa terlalu singkat untuk membangun desa. Selain itu enam tahun dirasa belum cukup untuk menyelesaikan konflik antarwarga pasca pemilihan kepala desa sebelumnya.

Namun hemat penulis bahwasanya enam tahun merupakan waktu yang sangat cukup untuk membangun desa serta mensejahterakan masyarkat desa, terlebih dapat dipilih kembali sebanyak tiga kali. Artinya 18 tahun bukan waktu yang sebentar, banyak hal yang dapat dilakukan oleh para Kepala Desa. Terlebih jika masa jabatan diperpanjang menjadi Sembilan tahun, berarti Kepala Desa dapat menjabat selama 27 tahun. Waktu tersebut tidak lebih sama dengan masa jabatan Orde Baru. Masa jabatan yang terlau lama justru akan menciptakan sebuah kekuasaan absolut bagi Kepala Desa. Mengutip pernyataan Lord Action bahwasanya kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Dengan bekuasanya Kepala Desa secara normal saja akan menjadi “pintu masuk” tindakan korupsi, apalagi jika kekuasan tersebut dibiarkan absolut makan peluang untuk melakukan tindakan korup akan semakin lebar dan absolut.

Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan dari tahun 2015 hingga 2021, korupsi di tingkat desa terus menempati urutan pertama sebagai sektor yang paling banyak dituntut atas tuduhan korupsi oleh aparat penegak hukum. Selama tujuh tahun ini, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar. Hal ini terjadi ketika masa jabatan Kepala dalam kondisi normal, bagaimana jika perpanjangan masa jabatan dikabulkan?

Memperpanjang masa jabatan kepala desa akan menimbulkan suasana demokrasi dan pemerintahan desa yang tidak kondusif, bahkan dapat melahirkan oligarki di desa. Belum lagi fenomena dinasti tambahan yang terwujud dalam pemilihan kepala desa. Akibatnya, ada kemungkinan sebuah kota dipimpin oleh kelompok yang sama selama beberapa dekade. Hal tersebut harusnya menjadi perhatian lebih para stakeholder berkaitan untuk mencari solusi suburnya masalah tindak pidana korupsi di tingkat desa.

Selanjutnya berkaitan dengan konflik pasca pilkades, sudah sepantasnya menjadi tanggungjawab dari Kepala Desa terpilih. Pada dasarnya Kepala Desa harus memiliki kemampuan kepemimpinan serta manajemen konflik yang baik. Persoalan-persoalan yang terdapat di desa akan terselesaikan jika Kepala Desa memiliki kemampuan yang mumpuni. Setidaknnya terdapat dua aspek kepemimpinan yang perlu dimiliki oleh Kepala Desa diantaranya transaksional dan transformasional. Bruns berpendapat bahwa kepemimpinan transaksional adalah interaksi pemimpin dengan pengikutnya (anggota) agar terjadi dan tercipta saling menghargai. Sedangkan kepemimpinan yang transformasional dideskripsikan sebagai hubungan yang lebih mendalam dan lebih langgeng yang di dalamnya motivasi dan tujuan pemimpin dan anggotanya dipadukan dan menjadi dasar peningkatan perilaku yang lebih tinggi bagi keduanya (Lovell dan Eiles, 1983). Oleh karena itu, seorang Kepala Desa dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana pemimpin idelnya mampu mengemban dua fungsi yang berkaitan dengan tugas-tugas dan fungsi yang berkenaan dengan pemeliharaan situasi serta iklim bermasyarakat agar tercipta stabilitas pemerintahan di desa. Pada dasarnya urgensi hadir bukan pada persoalan masa jabatan Kepala Desa. Namun, rendahnya kualitas Kepala Desa yang harusnya menjadi perhatian lebih dari para pemangku kepentingan.

Bagikan yuk

Tengku Imam Syarifuddin

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.