Meretas Konflik
Ditakdirkan sebagai negara besar yang plural etnik, bahasa, dan agama, serta uluran geografis menjulur dari Aceh sampai Papua, inilah Indonesia, kebanyakan orang menyebut bagai menerima ‘kutukan’, yang sudah menjadi tetapan bangsa dirundung potensi pertikaian, kekerasan, dan perpecahan. Begitu mengusik berbagai daerah setelah fase transisi demokrasi, jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, menandakan babak baru konflik domestik dimulai; konflik komunal bagai api dalam sekam menjalar, konflik berdimensi ‘pemisahan diri’ mengelora, gerakan ‘fundamentalis’ keagamaan mencuat, ditambah dimensi sosial, politik kian mengemuka.
Dan buku ini mengupayakan pemetaan bermacam-macam konflik yang terjadi di Indonesia. Multidimensional konflik pun ditampakan, sembilan (9) orang peneliti, sehingga saya membaca buku ini mengkonsentrasi pada tiga hal mendasar konflik, pertamakonflik pemisahan diri meliputi Aceh dan Papua,keduakonflik komunal agama di Maluku, dan etnis di Kalimantan, ketigakonflik laten, meliputi terpusatnya struktur pemerintahan antar daerah dan pusat, kebijakan, ekonomi-politik beserta sosial budaya.
[mks_pullquote align=”right” width=”500″ size=”20″ bg_color=”#000000″ txt_color=”#ffffff”]Judul: Potret Retak Nusantara
Penulis: Lambang Trijono, M. Najib Azca, Tri Susdinarjanti, Moc. Faried Cahyono, Zuly Qodir
Penerbit: CSPS, 2004[/mks_pullquote]
Pengidentifikasian pemetaan konflik dalam buku ini perlu digambarkan sentilan teori dari paul wher, pertama, mengenal situasi yang melatarbelakangi konflik, keduapihak yang terlibat langsung atau tidak dalam memicu konflik maupun perdamaian, ketigaisu yang di identifikasi menjadi obyek konflik, dan kempat, alternatif pemecahan masalah. Non sewuSedikit membuka analisanya ya.
Konflik pemisahan diri
Untuk Konflik seperatis di papua diurai Latifa Anum Siregar, ia menilik sumber konflik secara sruktural bahwa adanya dominasi militer di pemerintahan, yang terlalu sering mengeluarkan kebijakan yang tak pernah melibatkan masyarakat. Terasa ruang hidup dikuasai militer, sumber daya alam, serta prilaku mendiskriminasi masyarakat terus-menerus. Penduduk setempat tak terima laku seperti ini, akibatnya berlanjut bertindak separatis.
Sebenarnya dominasi Negara juga terlihat di Aceh dengan adanya rekonstruksi konflik yang di bahas oleh Otto Syamsudin Ishak, bahwa dominasi Negara relatif menurun dari tahun ke-tahun, lantaran terjadi tarunggan dominasi antara Sipil, RI, dan GAM, ketiga kekuatan ini saling tarung penguasaan. RI mendominasi wilayah aceh pada tahun 1997-1998 akibat dari kebijakan operasi militer, dan 1998-2000 Sipil menguasai wilayah menuntut RI harus menuntaskan pembantaian manusia, pelangaran HAM, dan menarik kekuatan militer dari bumi Aceh, kemudian berlanjut 2000-2002 GAM mendominasi secara mengemuka wilayah Aceh untuk memisahkan diri, dan 2002-2003 ketiga kekuatan ini menjadi seimbang.
Konflik komunal
Dibalik Konflik agama di Maluku juga dinarasikan Jacky Manuputy dan Daniel watimanela, bahwa adanya keterlibatan aparat dalam pemantik konflik. Awal konflik bermula ketika seorang preman Bugis memalak supir angkot beragama kristen, keduanya saling cekcok dan baku hantam, kemudian si preman beranjak lari ke perkampungan islam sambil berseru diserang oleh orang kristen. Beberapa menit beralalu isu sudah menyebar, berdesing dimana-mana, dan pemboman bebarapa titik di kota Ambon. Ditambah Eskalasi konflik mencuat setelah tentara dari makasar di turunkan dengan alasan pengamanan, lantaran adanya penyerangan kelompok kristen terhadap etnis Bugis, Buton, dan Makasar.
Bukan hanya itu, membesarnya konflik juga dipengaruhi deras masuknya mujahidin dari pulau jawa, seakan luput dari kontrol aparat, mereka melakukan indoktrinasi mengunakan ayat-ayat sebagai dalil juang hingga tensi membludak, saat itulah kelompok Muslim dan Kristen saling hantam karena diperhadapkan dengan dua pilihan “hidup atau mati.” Anehnya lagi RMS di tuduh sebagai dalang konflik, memprovokasi dan melancarkan permusuhan, sedangkan wadah ini bukan hanya kelompok Kristen berhimpun melainkan juga muslim. Ketahuan isu ini sehingga dipelintir isu bahwa RMS yang di maksud adalah Republik Maluku Sambas; wilayah yang mayoritasnya orang kristen. Makin jelas adanya keterlibatan aparat dan permainan negara.
Konflik etnis di Kalimantan juga sebenarnya bukan hanya soal dominasi suku Madura di bumi dayak, ini di perjelas oleh Syarif Ibrahim Alqadrie bahwa pertikaian sebenarnya melibatkan tiga etnis; Madura dan dayak, kemudian Melayu dan Madura. Sumber pertikaian ini akibat pengaruh pengedentifikasian etnis berdasarkan keagamaan Kristen dan Islam. Suku dayak berkonflik mempertahankan keberadaan sumber daya alam dari penguasaan Madura hingga menjulur soal sistem nilai budaya yang di anut ketiga suku ini. Ditambah ambisi elit politik kian ikut mengipas api dalam sekam.
Konflik Laten
Lambat-laun, pertikaian memang mengisahkan korban maupun pengungsi di berbagai area konflik, buku ini juga membahas tentang krisis pengungsi dan transformasi sosial; mencari prespektif baru bagi gerakan kemanusian, soal ini diseduhkan oleh pikiran Hilmar Farid. Sebab konflik juga tak terlepas dari pilihan kebijakan publik, buku yang kaya akan prespektif ini sebenarnya memecahkan teka-teki pertikaian yang mengemuka, tema ini disodorkan Purwo Santoso dan Tri Susidinarjanti guna melihat konflik dalam perumusan kebijakan Publik dengan khazanah landasan teori mapping conflict. Bicara konflik memang tidak terlepas dari proses politik Negara, disana terdapat sirkulasi persaingan kekuatan antara pemerintah, pembisnis, dan rakyat. Kekuatan pemerintah sering kongkalikong dengan kuasa pemodal adakala menimbulkan kebijakan tak sesuai kehendak rakyat, dari pilihan ini akhirnya sumber daya alam dieksploitasi, itulah yang diriset Suharko dalam kasus Indorayon Utama, soal kuasa pemodal, pemerintah, dan rakyat.Buku yang juga membahas bagaimana menggeliang kaum fundamentalisme islam. Narasi pikiran dari Zuly Qodir, mencoba memahami penyebab dan krakter peregerakan kelompok ini. Dengan munculnya sebuah studi kasus Majelis Mujahidin Indonesia yang mendapat tempat dan mencuat pergerakannya, ini di urai oleh Nouri Susan. Bahwa berbagai pemetaan pertikaian di penjuru negeri sebenarnya menunjukan konflik sosial pasca turunya Suharto, dan jalan terjal transisi demokrasi di Indonesia inilah tema penutup yang dirangkum M. Najib Azca.