Kegelisahan Intelektual Ignas Kleden
Ignas Kleden memiliki kegelisahan tentang proses reproduksi intelektual di Indonesia, yang masih relevan hingga kini.
Oleh Vedi R Hadiz,Guru Besar Kajian Asia dan Direktur Asia Institute, University of Melbourne.
Mengutip dari laman Kompas, 21 Februari 2024.
Pada akhir 1980-an saya bekerja dengan Ignas Kleden di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), khususnya pada Society for Political and Economic Studies (SPES) dan majalah Prisma, yang waktu itu berada di bawah naungannya. Meskipun bidang perhatian kami berbeda – Ignas mempelajari bidang kebudayaan dan saya cenderung pada ekonomi politik — kami bekerja cukup dekat.
Salah satu guyonan di antara kami adalah: suatu hari saya akan menulis semacam obituari untuknya, dan saya akan mengisinya dengan hal-hal lucu yang ia kerjakan setiap hari dan tidak diketahui orang banyak. Sekarang saya memenuhi ’janji’ tersebut, walaupun dengan bahan yang tidak selucu yang dahulu kami bayangkan.
Sebab waktu sudah berjalan, dan kesempatan ini sebaiknya digunakan untuk mengingatkan kita kepada sejumlah sumber kegelisahan intelektual Ignas Kleden. Sejak Ignas meninggal sebulan lalu, 22 Januari 2024, sudah banyak yang menulis tentang pencapaian akademiknya. Ia seorang pengamat sosial-budaya dan sastra ulung yang sukar dicarikan tandingannya di Indonesia. Pemikirannya yang logis dan gaya menulis dan bertuturnya yang begitu rapi selalu membuat orang tersentak untuk berpikir. Namun ada hal-hal tertentu yang ingin saya tekankan dalam mengenang Ignas yang mungkin belum dimunculkan sebelumnya.
Pada waktu saya mulai bekerja dengan Ignas, usianya baru mencapai sekitar 40 tahun. Sekarang seorang intelektual berusia di bawah 45 tahun akan dicap sebagai ‘intelektual muda’, padahal waktu itu Ignas sudah dianggap matang dan cukup senior. Tidak heran bahwa pada usia relatif muda pun Ignas sudah memiliki kegelisahan tentang proses reproduksi intelektual di Indonesia.
Saya berkeyakinan bahwa karena kegelisahan tersebut muncul pula keinginan dia untuk menjadi semacam ”pembimbing” saya, yang lebih dari 15 tahun lebih muda. Jika sekarang banyak cendekiawan mungkin merasa berkewajiban menyiapkan generasi pengganti, sebagian di antara mereka bisa belajar dari Ignas dalam cara melakukan hal tersebut. Seingat saya, Ignas tidak pernah berperilaku paternalistik apalagi eksploitatif terhadap yang lebih muda, suatu sikap yang masih langka dalam dunia intelektual kita yang belum juga menanggalkan semua yang berbau feodal. Contohnya, Ignas dan saya banyak terlibat perdebatan tanpa sampai pada suatu kesepakatan. Bagi dia, hal itu tampaknya sah saja. Ia tidak tersinggung bahwa ada anak muda yang menentangnya dan menghargai perbedaan pengalaman dan lingkungan kami berkembang.
Ignas dibesarkan dalam sistem seminari yang mampu merangsang imajinasinya, tetapi tidak bisa mengekang keinginannya untuk membangkang terhadap kungkungan institusional yang ditemuinya. Saya berasal dari generasi aktivis mahasiswa yang terpinggirkan oleh kampus Orde Baru, dan berbagai organisasi sosial rezim yang berlaku sehingga mengalami proses belajar awal secara liar, tidak sistematis, dan non-institusional.
Ada satu lagi sumber kegelisahan intelektual Ignas yang pantas dicatat, yaitu kecenderungan ‘involusi’ dalam pemikiran ilmu sosial di Indonesia. Menurutnya, hal itu bisa terjadi karena tiap generasi baru tidak belajar dari perdebatan sebelumnya tentang hal sama. Akibatnya, perdebatan tentang berbagai masalah cenderung berulang tanpa kemajuan, untuk kemudian dilupakan dan berulang lagi. Saya pun merasakan bahwa hal tersebut masih terjadi hingga kini.
Dalam percakapan pribadi Ignas sering kali mengkritik rekan seusia saya yang menurutnya mengajukan gagasan genit yang ditawarkan sebagai hal baru tetapi sebetulnya tidak lebih bermutu dari pendahulunya dalam bidang yang sama. Misalnya perdebatan tentang kapitalisme, atau keadilan sosial, atau tentang demokrasi – yang dahulu menjadi makanan sehari-hari aktivis seusia saya – menurutnya kadang kala berlangsung secara involutif.
Ada satu lagi sumber kegelisahan intelektual Ignas yang pantas dicatat, yaitu kecenderungan ‘involusi’ dalam pemikiran ilmu sosial di Indonesia.
Namun, Ignas pun adalah produk masa dan lingkungannya. Menurut saya adalah sah saja bahwa ia pernah dikritik karena tidak melibatkan peran perempuan dalam sejarah intelektualnya dan kurang berperhatian kepada pemikiran mereka yang paling terpinggirkan, oleh zaman ataupun rezim pemikiran dominan.
Agaknya, pemberontakan pada kungkungan institusional seminari di Flores—yang membawanya berkecimpung dalam dunia intelektual Jakarta—terbawa sepanjang hidupnya. Ignas selalu menuntut menjadi orang bebas—ia menolak, misalnya untuk menjadi pegawai tetap di LP3ES dan pernah menolak tawaran menjadi dekan di salah satu universitas swasta.
Alhasil, ia berusaha membangun beberapa institusi sendiri— SPES, Go East Institute, dan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi—dengan derajat keberhasilan berbeda. Memang saya dan Ignas menjadi amat jarang bertemu selama hampir dua setengah dekade terakhir, sejak saya mengajar di luar negeri. Kami jadi ‘berpisah’ karena gagal membangun semacam lembaga penelitian yang independen. Namun, saya mengamati dari jauh bahwa upayanya mengembangkan dan menyebarkan gagasan kritis tidak selalu bersatu padu dengan tuntutan institusional yang harus diembannya guna menyediakan wadah untuk kegiatan itu.
Tentu ada hal-hal lain yang saya ingat sejak ia meninggalkan kita: misalnya, sosok seorang Ignas Kleden yang tadinya tidak bisa menulis dengan komputer sehingga semua kolom dan makalahnya harus ditulis tangan sebelum diketik oleh seorang rekan di kantor. Dalam hal pemakaian teknologi komputer awal, Ignas bahkan sempat lebih parah daripada teman dekatnya, almarhum Daniel Dhakidae.
Ketika mengunjungi Ignas di Jerman, saat ia sedang menulis disertasinya pada 1990-an, saya melihat bahwa ada komputer di tempat ia bekerja di rumah. Saya menyampaikan haru bahwa dia sudah menguasai penggunaan komputer, sesuatu yang membuatnya tertawa.
Jadi, saya mengenang Ignas sebagai seorang intelektual yang dihormati, tetapi yang tetap mampu menertawakan dirinya sendiri. Namun saya merasa turut gelisah bahwa sumber-sumber kegelisahan intelektualnya dulu ternyata masih relevan hingga kini.
Sumber asli: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/02/20/kegelisahan-intelektual-ignas-kleden?open_from=Opini_Page