Karang Abang (1)

Hampir semua orang berkhianat pada leluhurnya. Mereka mempecundangi sesosok manusia jaman baheula yang pertama kali membabat alas. Apa yang dahulu telah dipesankan agar dijaga, kini tak dihiraukan, malahan diperjualbelikan. Dari sinilah petaka itu dimulai: Leluhur-moyang menyumpah-serapahi penduduk desa.

Lek Ren hanya terdiam. Sudah genap empat sasi ia tak pergi menengok alas. Di kepalanya masih berkelebatan gerombolan polisi mengepung desa. Dua kali, ya, benar, dua kali kejadian memilukan itu terjadi. Semuanya masih membekas di kepala. Tetapi, bukan itu yang membikin tubuh kecilnya tak menapakkan kaki.

Sementara itu, di alas Purworejo yang paling subur tanahnya, di sana ada patok Desa Wadas. Bukan terbuat dari cor-coran semen. Patok itu menjulang tinggi. Membutuhkan sepuluh orang dewasa untuk mendekapnya. Di bentangan bukit Menoreh, orang-orang Borobuduran selalu melihat setitik rekahan cahaya merah muda sebagai tanda pergantian musim. Di situlah patok Desa Wadas ditanam oleh Kyai Putih. Orang Wadas kini menyebutnya Randu Alas.

“Ini bahaya!” Gerutu Lek Ren lirih, tapi hatinya kini mulai mengeras.

“Kenapa orang-orang nJurang menjual tanahnya! Apa orang-orang itu sudah lupa Karang Abang? Celeng!”

Lek Ren masih tak percaya sebagian warga meninggalkan warga yang lainnya. Ini bukan soal tingal-meninggal dalam perjalanan biasa. Sejak datang rencana pertambangan batuan andesit, warga kukuh menolak dan melawan. Sebagai petani, Lek Ren percaya inilah perjalanan terhormat mempertahankan keutuhan tanah leluhur moyang. Ya, tak ada yang lebih berharga selain tanah kelahiran yang kini hendak dihancur ledakkan itu.

Sejak ada informasi desanya bakal ditambang, hati Lek Ren mulai bergemuruh. Ia tak sudi menjual tanah, ini sudah menjadi keyakinan. Kini gemuruh di hatinya mulai mengeras semenjak orang-orang nJurang melepaskan tanah pada negara. Baginya, biang kerok dari kegaduhan ini adalah Gubernur. Orang-orang di Gubernuranlah yang tak mau menghormati sikap dan keputusan warga.

“Ya, Randu Alas. Dulu sekali warga bermujahadah di sana, di Randu Alas sana.”

Lek Ren lekas mengambil langkah gontai keluar rumah. Dipandanginya pohon-pohon menjulang besar-besar. Bukankah ini yang diharapkan orang-orang kota, hidup di desa dengan pepohonan dan kicauan burung. Jauh dari lalu lalang debu dan klakson bising. Semua orang menghendaki hidup dalam ketentraman, tapi kenapa semua ini justru mau diledakkan.

Dari kejauhan, perangai tubuh yang akrab di pandang Lek Ren muncul dari setapak tanah di sela-sela rimbun pepohonan. Perempuan itu nampak memikul sesuatu yang panjang di punggung. Sedikit terengah dengan agak membungkuk, ia mendongakkan tatapan.

“Kowe ingat Randu Alas?” tegurnya pada Wiji.

“Ya, habis nderes Badek di sekitar sana. Kenapa?”

“Kowe ingat soal Karang Abang?”

“Ah, orang tua yang pertama kali menceritakan itu kan sudah menjual tanah.”

“Justru itu.”

“Ya, kenapa?”

“Dia bangun rumah tingkat, dua lantai!”

“Mau bertingkat-tingkat pun, kalau tambang sudah berjalan, rumahnya juga bakal retak. Kalau hujan datang, pasti ditenggelamkan lumpur rumah itu.”

“Nah, dia bakal kena tulah, lihat saja!” Terka Lek Ren.

“Dia saja? Orang-orang yang menjual tanah juga! Kita juga!”

Wiji menjauh ke selatan membawa perasaan sedikit kesal. Dua batang Bumbung berisi Badek dipikulnya di bahu kanan dan kiri. Di pinggang, sebilah parang bergelantungan. Langkah kaki yang begitu berat dan nampak agak diseret itu belum lepas dari pandangan Lek Ren. Mungkin, ketika alas jadi ditambang pemandangan seperti ini tak akan ia jumpai lagi. Tak ada lagi yang pergi ke alas memanen nira aren, memetik kemukus, merebus kolang kaling, menjemur kopi, dan kegiatan bertani lain. Tak akan ada lagi tegur sapa yang demikian saja baru terjadi.

Lek Ren merogoh saku, tangan yang dipenuhi kapal kasar mengeluarkan plastik putih lusuh. Dia mulai menebar tembakau di selembar kertas berwarna putih. Jari-jarinya lincah melinting. Dalam satu tarikan nafas, korek api dan rokok menyala bersamaan. Lalu, ketika asap mulai mengepul dari bibirnya yang hitam itu Lek Ren meninggalkan rumah. Sengaja ia tak mengendarai sepeda motor, bukan apa-apa, ia memang tak bisa mengendarainya. Lelaki paruh baya itu menyeret hatinya yang bergemuruh menelusuri jalan desa. 

Tujuannya sekarang menyusul Wiji. Lek Ren masih menganggap ada yang ganjal. Kenapa mesti dirinya juga yang harus mendapatkan kemalangan yang disebabkan oleh kutukan? Perbuatan hina apa yang ia perbuat, sehingga harus kualat?

Di dukuhnya, orang-orang desa masih kukuh. Tak ada yang melepaskan tanah pada negara. Rumah-rumah masih berwajah sama. Perempuan-perempuan juga disibukkan membuat irat, menganyam besek. Siapa berani bandit negara datang kesini? Tak ada, pasti kena usir mereka!

Hanya butuh waktu sekejap Lek Ren sampai ke rumah Wiji. Kakinya berjalan lincah melewati tanjakan dan turunan jalan. Baginya, itu bukan masalah, tak ada nafas yang menderu dari balik dadanya. Lek Ren, menghampiri Wiji di pawon.

“Di mana Kalim?”

“Masih di alas. Sebentar juga datang, tunggu saja.”

“Aku tak mencarinya.”

“Apa maksudmu tadi?” Lanjut Lek Ren.

“Aku tak sudi menjual tanah, tak akan kulepas.”

“Kenapa harus aku juga kena tulah?” Lek Ren terus memburu Wiji dengan pertanyaan.

“Bukan kowe saja, kita semua!” Bantah Wiji sembari menyalakan api.

“Gubernur juga? Orang-orang proyek juga?”

“Dia datang, bicaralah sama suamiku, aku sibuk membuat gula aren.”

“Kowe pasti ingat Karan Abang kan, Lim?” Lek Ren menengok.

“Dulu simbah yang menceritakan padaku,” Sahut Kalim.

Khalim adalah penerus dari adat kebudayaan yang tubuh di Wadas. Dari simbah ke bapaknya, dari bapak ke dirinya sendiri kini. Selain bertani, Khalim mendapatkan tugas tambahan itu, merawat dan meruwat seni budaya leluhur. Tak heran, ia tahu titik-titik paling angker di desa. Mulai dari alas hingga sungai, mulai dari cerita Randu Alas ke Radu Parang. Tetapi, soal Randu alas, soal Karang Abang Khalim selalu tutup mulut.

“Ceritalah,” Pinta Lek Ren.

“Penghianat itu kan sudah menebar cerita lebih dulu. Kowe tahu kan?”

“Ya, dia sudah melepas tanahnya. Dia telah sembrono, mentang-mentang dianggap tetua desa, warga disuruhnya menjual tanah juga. Setan!” Maki Lek Ren.

“Apa Karang Abang itu akan terjadi, Lim?”

“Kalau alas ditambang, pohon ditebangi, dikelupas tanahnya, diambil batunya apa kita akan tetap aman saja?” Potong Wiji.

“Tidak! Karang Abang pasti terjadi.”

Ini ‘ajaib’ pikir Lek Ren. Orang dengan semudah itu mengkhianati leluhur demi lembaran duit. Ia yakin Karang Abang benar akan terjadi. Randu Alas akan segera ditebang. Alas di sana sudah dibebaskan oleh pemerintah. Tapi, dibebaskan itu bahasa negara. Bagi Lek Ren tetap saja, semua itu adalah perampasan lahan.

“Kita jaga Randu Alas jangan sampai ditebang. Itu bisa celaka, Karang Abang mesti kita cegah!”

“Sekalipun Randu Alas tak ditebang dan penambangan tetap berjalan, Karang Abang akan tetap datang, Ren!” Sambar Khalim.

“Lalu bagaimana, kita ikut-ikutan menyerahkan tanah juga? Tak sudi!” Jawab Lek Ren.

“Kenapa kita melawan? Aku tanya baik-baik padamu, Ren, mengapa kita tak sudi menyerahkan tanah pada negara?”

Lek Ren tak menjawab hentakkan pertanyaan yang dilontarkan Wiji. Ia bergegas pergi dengan gemuruh di balik dadanya yang semakin menjadi. Lek Ren pulang dengan membawa dua sisi perasaan. Dia semakin yakin jika dirinya tak bakal sendirian melawan tambang, tetangga rumahnya akan terus mempertahankan hak atas tanah yang dimiliki. Namun, di sisi yang lain, Lek Ren tak menghendaki Karang Abang terjadi.

Bagikan yuk

Yusuf Bakhtiar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.