Hari-hari yang mencekam…

Di hari-hari yang mencekam dan hitam pekat bagi dunia HAM & demokrasi negeri ini setelah represi sistematis disertai perundungan rasis terhadap anak-anak Papua di beberapa kota di Jawa, saya sedang membaca novel karya Felix Nesi berjudul “Orang-Orang Oetimu” yang merekam kehidupan sosial-politik dan kebudayaan masyarakat pelosok NTT dan wilayah yang semenjak akhir abad 20 menjadi negara merdeka a.k.a Timor Leste.
Sebuah penggalan cerita di bawah yang saya nukil dari novel tersebut adalah bagian saat Maria (mantan aktivis pergerakan tahun 90an) yang baru kehilangan suami dan anak bayinya setelah mereka dengan naas dilindas oleh iring-iringan unimog TNI (mobil-truk raksasa besar) yang terburu-buru berusaha mengamankan kota di saat kekuasaan Soeharto sedang diujung tanduk dan suasana pemberontakan di Timor leste meningkat.
Maria, yang jiwanya setengah hilang setelah keluarga kecilnya direnggut atas nama usaha menjaga kesatuan sebuah republik, mencoba melakukan perlawanan terakhir di saat seorang perwira tentara pemerintah yang kesatuannya membunuh keluarganya mencoba memberi pidato di hari pemakaman mereka.
Maria berteriak lantang:
“Kesatuan negara? Kesatuan negara yang mana? Yang harga mati itu? raungnya. Yang harga mati itu kemanusiaan! Yang harga mati itu keluarga saya, keparat tolol! Enyah kau dari hadapan suami dan anak saya. Sangkamu kesatuan negara lebih penting daripada…Puih! Anjing!!” -Orang-Orang Oetimu, (Felix K. Nexi, 2019), hal 158).
asyik-asyik menyelesaikan halaman-halaman akhir orang-orang oetimu dan mulai panik waktu tau sersan ipi dibunuh, penasaranlah gimana reaksi dan respon silvy..eh endingnya sama sekali ora bahas silvy. Gregetan jadinya geng..
*Konsultan dan CEO Zed Poestaka.inc