Gerungisme

Sumber: riaumandiri.co
Oleh: Moksen Idris Sirfefa
Rocky Gerung, sosok yang akhir-akhir ini menjadi media darling di Indonesia telah memecahkan kejumudan yang telah berlangsung hampir sepuluh tahun terakhir. Dalam rentang waktu itu, sirkulasi kritik publik yang berseliwerang di era sebelumnya dihalau, dipendam dan dipadam tak berkutik. Beberapa anggota DPR yang dulu dikenal “koboi senayan” pun dibuat keok. Demikian pula para akademisi dan pengamat yang selalu mencaci-maki presiden era sebelumnya, termasuk media mainstream tertidur pulas.
Publik makin dibuat bingung dengan makin kuatnya segregasi sosial akibat hoax dan campur tangan rezim politik di dalam isu “Aku Pancasila” bersama segmen sosial tertentu dan memandang segmen sosial lainnya sebagai “Anti Pancasila”. Masyarakat terkutub dalam fragmentasi politik rezimentasi yang makin mengkhawatirkan.
Lebih tragis lagi anjing penjaga adalah para buzzer yang dibayar ratusan milyar. Para buzzer ini berasal dari kalangan negara maupun non-negara yang bertugas menjaga ritme pemerintahan seolah berjalan normal. Tugas para buzzer adalah mengedap suara kritis, meredam protes massa, menyergap kalangan oposisi dan menyerang lawan bicara. Jika presiden saat ini disebut petugas partai, maka para buzzer adalah petugas presiden. Kadang para oposan memanggil mereka buzzeRp, karena mereka diiming-imingi cuan yang banyak.
Rocky Gerung selaku intelektual publik merasakan fenomena ini sebagai suatu proses pembodohan berbangsa dan bernegara. Selayaknya intelektual merdeka pada umumnya – yang selalu menyuarakan kebenaran – Rocky selalu meng-Gerung tanpa rasa khawatir ditangkap. Ia gelisah mengapa bangsa yang kaya dengan seabrek orang pintar ini tiba-tiba menjadi dungu secara berjama’ah.
Rocky pun tampil dengan kemampuan artikulasi filosofis dan gaya khasnya, mencoba meyakinkan penyelenggara negara dan para kroninya yang nyaman di dalam istana dan gedung megah agar sadar. Rocky ibarat Nabi Saleh a.s yang datang mengetuk pintu kota Petra yang dihuni kaum Tsamud agar beriman kepada Tuhan. Tetapi teknik yang awam dan bersahaja tidak mempan, ia kemudian mengambil teknik yang tinggi. Satu-satunya cara ia harus memancing dialektika publik yang kontroversial.
Selayaknya intelektual merdeka pada umumnya – yang selalu menyuarakan kebenaran – Rocky selalu meng-Gerung tanpa rasa khawatir ditangkap. Ia gelisah mengapa bangsa yang kaya dengan seabrek orang pintar ini tiba-tiba menjadi dungu secara berjama’ah.
Penampilannya memukau banyak kalangan. Generasi muda milenial yang kritis seolah mendapat tambahan energi atau energi baru karena kadung kecewa. Generasi milenial ini kecewa karena merebaknya korupsi dan praktek kriminalisasi yang dipaksakan plus tebang pilih. Tuntutan gerakan reformasi dan suara-suara kritis mahasiswa berhasil dijinakkan lewat kehadiran para tokoh mahasiswa dan pemuda yang hadir di Istana Negara dan berfoto bersama sang presiden.
Dalam situasi apatis terhadap perubahan itu, tiba-tiba muncul sosok Rocky Gerung dengan kegerungannya. Ia tak lagi sebagai intelektual publik tapi telah mewakili moral publik yang justru sudah bangkrut untuk bangkit melawan praktek bernegara yang asal-asalan ini. Rocky Gerung yang individu kini menjelma menjadi lembaga publik yang diikuti para follower kritis. Mereka bangkit melawan kekuatan rezim, termasuk para buzzer yang secara ilmu berkategori dungu ala Rocky.
Kalangan mahasiswa dan pemuda, politisi, para eksekutif di pemerintahan dan swasta bahkan masyarakat umum tiba-tiba mengidolakan sosok ini. Rocky menjadi the new idol bagi mereka yang terlanjur kecewa dengan keadaan. Kemampuan mengartikulasi dan menempatkan diksi dalam setiap preposisi kritiknya selalu menghentak dan membelalak mata publik. Para generasi milenial di kampus-kampus terkesima dengan Plato dari timur ini. Ia mengurai dan menata kata per kata secara apik membuat setiap puzzle kritiknya tepat sasaran.
Rocky memanfaatkan apa yang oleh Wittgenstein (1889-1951) disebut “teori gambar” (picture theory) atau disebut juga teori tentang makna (theory of meaning). Menurut Wittgenstein, bahasa menggambarkan realitas dan makna itu tidak lain daripada penggambaran suatu keadaan faktual dalam realitas melalui bahasa. Rocky meminjam apa yang oleh Wittgenstein sebagai language-games yaitu – meminjam Moore – bahasa sehari-hari (ordinary language) yang dikontekskan dengan situasi tertentu (meaning in use) dan bukan makna yang sebagaimana dikatakannya (majazí) alias metaforis.
Sinisme “bajingan tolol” adalah frasa majazí yang menggambarkan finalitas dari susunan puzzle yang sempurna meskipun bentuknya tak beraturan. Ada kementerian/lembaga yang diserahi tugas dan tanggung jawab masing-masing tetapi di antara mereka tak ada strong coordinations dari presiden sebagai top leader mereka. Presiden selalu “melempar” masalah kepada para menterinya tanpa butir arahan dan kisi-kisi.
Dalam situasi seperti itu, urusan pemerintahan amburadul. Ibarat di dunia olahraga, latihannya lain, mainnya pun lain, tak sesuai teori. Setiap menteri mementingkan KPI-nya sendiri dan tidak perduli dengan rekan sebelah kamarnya. Sesama anggota kabinet hanya bisa saling-pandang senyam-senyum saat sidang kabinet atau rapat terbatas.
Di sini Rocky mengamati dan “menggambar” dinamika pemerintahan ini dengan baik dan mengakumulasikannya dalam satu frasa kritik yang cukup pejoratif dan mengundang kontroversi tetapi sebenarnya hanyalah sebuah gimmick filsafat analitik. Tetapi sekali lagi, Rocky telah menjelma bak batu cadas (rocky) yang muncul di tengah lautan yang aliran air di permukaannya terlihat teduh tapi sebenarnya terdapat gelombang arus bawah (undertow) yang sangat dahsyat. Secara fisik, aliran massa air (flux mass) terus bergolak membawa jutaan plankton dan berbagai jenis ikan maupun hewan laut yang mengerubutinya. Gejala ini bisa melahirkan revolusi mental yang sesungguhnya, yang menopang babak baru reformasi ala Rocky, Gerungisme!
Tabea!
Ciputat, 15 Agustus 2023.